BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori-teori
ilmu dalam hubungan internasional telah banyak diperbincangkan, dan pada
kenyataannya teori-teori itu meskipun telah lama eksistensinya dalam memberikan
pandangan terhadap suatu permasalahan dan lain sebagainya, namun teori-teori
tersebut masih dalam tahap perbincangan sampai masa kini dan belum sepenuhnya
dapat dijadikan sebagai jalan keluar. Dalam teori-teori tersebut ada salah satu
teori yang membahas tentang pertentangan kelas-kelas di dalam kehidupan sosial
atau yang kita sebut sebagai teori marxisme. Berawal dari sebuah kritik tentang
kaum liberal yang meyakini bahwa manusia itu makhluk yang logis, mempunyai
akal, dan dengan akalnya itu dia akan berusaha agar dia dapat bekerjasama
dengan orang lain dan juga tapa ikut campur suatu lembaga manapun. Marxisme
lebih condong terhadap perekonomian suatu wilayah, yang berpandangan bila suatu
pasar dibiarkan bebas, maka pasar tersebut akan dikuasai oleh orang-orang atas.
Maka disinilah marxisme menginginkan suatu persamaan kelas. Adapun kelas-kelas
yang dimaksud oleh marxisme yakni kaum borjuis (kaum capital) atau pemilik
modal, dan kaum proletar (kaum yang mendapatkan eksploitasi dari kaum pemilik
modal), dari sinilah marxisme menginginkan penghapusan kelas-kelas tersebut
sehingga tidak ada eksploitasi antara sesame.
Islam
merupakan suatu agama yang sempurna dan bersifat rahmatan lil alamin (rahmat
bagi seluruh alam) yang tidak ada kecacatan didalamnya. Dan agama yang disisi
Allah SWT hanyalah agama Islam. Islam sebagai agama Allah mengambil rujukan
dari pada kitab yang tiada bandingnya yaitu Al-qur’an dan sebagian berasal dari
perkataan nabi SAW. Islam telah memandang bahwa menurut al-quran didalam islam
tidak ada suatu perbedaan anatara sesame ummat ciptaan Allah SWT, yang
membedakan diamata Allah hanyalah ketaqwaan saja. Adapun kaya atau miskin, tua
muda, mati, rezeki, jodoh dan lain sebainya itu telah di atur oleh qodo dan
qodarnya Allah SWT.
Kali
ini kami akan mempresentasikan tentang konsep-konsep marxisme dalam Islam, yang
mana masih terdapat perdebatan-perdebatan baik dalam islam maupun dikalangan
barat. Untuk mengetahui lebih lanjutnya tentang marxisme akan di jabarkan
didalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami
ajukan adalah:
1. Bagaimana Marxisme dan Islam memandang
kodrat manusia dan agama?
2. Bagaimana Marxisme dan Islam memandang
kapitalisme?
3. Bagaimana Marxisme dan Islam memandang
persaingan kelas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kodrat Manusia dan
Peran Agama Menurut Marxisme dan Islam
1. Kodrat manusia menurut pandangan Marxisme
Marxisme tidak berdiri di atas
angan-angan atau mimpi-mimpi, tetapi bertolak dari pemahaman manusia secara
umum dan pada saat yang bersamaan, bertolak dari tinjauan terhadap hubungan manusia
dengan lingkungannya. Marxisme dirumuskan dengan memerhatikan latar sosial dan
sejarah yang memotret setting kelas dan ekonomi. Setting itulah
yang menyertai manusia serta menopang moralitas dan tujuan-tujuannya yang
tinggi.
Manusia dalam pandangan Marxisme adalah
konsep nisbi, sebab pemahaman tentangnya terus berubah dan baru. Setiap
perubahan dan pembaharuan itu tidak lain adalah bentuk baru yang menyempurnakan
bentuk-bentuk sebelumnya, tetapi bentuk baru ini pun tidak dapat menghindari
hukum perubahan yang abadi. Dengan ungkapan lain, manusia dari sisi umum tidak
akan pernah merasakan keabadian, tetapi senantiasa berada pada perionde
perpindahan. Dari sisi mana pun, kemanusiaan tidak mungkin disertakan dengan
makna keabadian. Di antara hal yang harus dihindari para pengkaji adalah
keyakinan adanya tingkatan manusia yang abadi.
Nilai manusia, menurut Marxisme tampak
pada kerja sehari-harinya. Segala sesuatu tidak mungkin ditetapkan wujudnya,
kecuali dalam ruang lingkup peristiwa-peristiwa empiris yang selalu berada
dalam proses terus menjadi. Adapun konsep alam yang kekal adalah salah satu
bentuk berpikir murni dan produk imajinasi semata. Hubungan manusia dengan
alam, menurut Marxisme bukanlah hubungan metafisika. Manusia hidup di atas
bumi, ia hanya berhubungan dengan alam sebagaimana yang ia lihat. Hubungannya
dengan alam bukanlah hubungan meditasi atau perenungan, tetapi hubungan kerja
dan perjuangan (struggle).
Marxisme menuntut pengikutnya untuk
kembali kepada sifat kemanusiaan yang utama. Maknanya, seorang Marxis yang
militan berada bersama kelompok, tenggelam dalam lautan kelompok, mengenal
lapisan-lapisan kelompok, mengetahui kebutuhan-kebutuhan mayoritas, tidak
memandang rendah persoalan-persoalan rezeki, upah, sandang, pangan dan
persoalan lainnya yang dapat dicapai melalui kerja keras. Di antara
kewajibannya adalah merasa dan berpikir sebagaimana dirasakan dan dipikirkan
manusia pada umumnya. Ia harus hidup sebagaimana kehidupan mayoritas agar
mengetahui dengan baik kebutuhan, kecenderungan, tujuan dan angan-angannya.
Dengan demikian, Marxisme percaya bahwa manusia adalah makhluk politik dan
sosial yang sibuk. (Muhammad, 2010, hal. 213-214)
Marxisme memerangi kesenjangan yang paten
dalam masyarakat kapitalisme dan menyerukan persamaan. Engels berpendapat bahwa
pemikiran tentang persamaan memiliki latar teoritis, praktis dan diplomatis.
Latar teoritis tampak pada pemikiran Rousseau. Latar politis tempat pada revolusi
besar Perancis. Persamaan memainkan peranan penting dalam mempertahankan
gerakan sosialisme di banyak tempat.
Engels menyimpulkan bahwa pemikiran
tentang persamaan, baik dalam baju borjuis atau baju proletariat, adalah produk
sejarah. Jika pemikiran ini muncul pada hari ini dengan makna ini... atau makna
itu..., itu adalah hakikat persamaan yang fundamental. Bahkan, itu adalah buah
tersebarnya pemikiran tentang persamaan secara luas. Faktanya, pem ikiran tentang kesamaan adalah tema
sentral manusia pada abad ke-18.
Namun, apakah Marxisme menetapkan
prinsip-prinsip persamaan yang mutlak, yakni prinsip yang berlaku bagi semua
manusia? Sesungguhnya yang diserukan Marxisme adalah persamaan yang berbeda
dengan yang ditawarkan Sosialisme Utopian. Pierre Joseph Proudhon (1809-1865),
umpamanya, menjelaskan bahwa kepemilikan kecil sebagai hasil bagi-bagi adalah
target utama Marxisme. Tujuan yang ingin dicapai Marxisme adalah memunculkan
perjuangan kelas melawan kelas borjuis karena menekankan persamaan kodrat antar
manusia.
2. Pandangan Marxisme Terhadap Agama
Marxisme menganggap dunia ini
segala-galanya dan tidak percaya kepada akhirat, tuhan tidak ada, tuhan hanya
diciptakan manusia dalam fikirannya. (Muhammad A. A., 2010, hal. 50) Marxisme tidak
percaya kepada hal yang Ghoib. Pandangan Marx tentang agama: “Religion is
the opium of the People” (agama adalah candu rakyat).
Di kalangan Marxis terdapat kontroversi
sekitar penafsiran atas kata-kata Marx tersebut, yaitu:
a. Marxis radikal seperti Lenin menafsirkan
agama sepenuhnya bersifat negarif, agama meninabobokan, meracuni dan melenakan
rakyat. Itu sebabnya Lenin menghendaki penghancuran semua doktrin dan
lembaga-lembaga keagamaan ketika ia berkuasa di negaranya.
b. Ada juga yang berpendapat bahwa istilah
candu hanya ditujukan Marx kepada suatu sekte tertentu agama Kristen
(Protestan), jadi tidak semua agama dimata Marx merupakan candu rakyat.
c. Kaum Marxis yang lain menilai agama lebih
bersifat netral.
Komentar tentang pernyataan Marx tentang
agama bahwa “Religion is the opium of the people”:
a. Kata-kata Marx apapun interpretasinya
adalah kritiknya terhadap agama.
Menurut Marx, agama tidak menjadikan
manusia menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang berada di luar
dirinya. Inilah yang menyebabkan manusia dengan agama itu menjadi makhluk yang
terasing (alienated) dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber
keterasingan manusia.
b. Di sisi lain Marx menganggap bahwa agama
muncul karena adanya perbedaan kelas-kelas sosial. Agama adalah produk
perbedaaan kelas itu, jadi selama perbedaan kelas itu ada, maka selam itu pula
agama akan tetap ada.
c. Menurut Marx agama perlu dilenyapkan
karena:
·
Agama merupakan alat kaum berjuis-kapitalis
(kelas penindas) mengekploitasi kelas pekerja atau proletar.
·
Negara sebagai alat penindas menggunakan agama
demi kepentingan mempertahankan kekuasaan atau kondisi opressif kelas proletar.
·
Agama digunakan oleh negara agar rakyat tetap
terlena dan tidak berontak dan selalu patuh kepada penguasa negara.
3. Pandangan Islam terhadap Marxisme
Islam
sangat bertentangan dengan pandangan Marxisme. Marxisme tidak percaya dengan
adanya Tuhan, dengan adanya hari akhir dan memandang hanya hal-hal yang empiris
serta rasionil saja tetapi tidak mempercayai hal gaib. Islam memandang
persamaan antarmanusia dan yang membedakan hanyalah takwa. Percaya kepada
adanya tuhan, hari akhir dan mengimani sesuatu yang ghaib.
Namun,
ada sebagian kecil kesamaan antara islam dengan Marxisme. Marxisme berbicara mengenai
persamaan antar manusia, di dalam islampun berbicara tentang persamaan
antarmanusia. Seperti yang telah diterangkan di dalam Al-qur’an.
أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً
وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ يَا
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)
Namun, dalam prakteknya Marxisme memiliki
pandangan yang sangat berbeda dengan Islam. Mereka menganggap semua manusia itu
sama, tidak ada yang kaya tidak ada yang miskin semuanya harus sama. Asumsi
kaum marxis sangat menyimpang dari kodrat hakiki manusia. Karena di dunia ini
pasti akan ada yang miskin dan yang kaya.
Akhirnya karena pandangan perbedaan kelas
tersebut, Marxisme mengungkapkan bahwasannya kaum proletar harus memerangi kaum
borjuis yang berkuasa. Maka terjadilah ketegangan yang tidak sehat antara kaum
buruh dan kaum borjuis. kaum proletar
berusaha menggulingkan kaum borjuis dengan berbagai macam cara dengan tujuan
penyama rataan manusia.
Namun, di dalam islam ada sistem yang
membuat orang kaya menyantuni yang miskin dan orang miskin menghargai yang
kaya. Akhirnya dengan adanya sistem zakat, infaq, shadaqoh maka orang-orang
miskin dapat merasakan apa yang belum mereka rasakan sebelumnya, dapat memiliki
apa-apa yang tidak mereka miliki dan kerukunan terjalin antara yang kaya dengan
yang miskin. Karna pada hakikatnya semua manusia itu sama dan yang
membedakannya adalah Takwa.
B. Kapitalisme Dalam Pandangan Marxis dan
Islam
Kerangka pemikiran Marx mengenai kapitalisme
mencakup posisi individu dalam masyarakat, hubungan produksi, dan sistem
produksi modern. Marx mengakui adanya individu sebagai organisme dan memiliki
hasrat untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, Marx menentang pandangan
liberal yang menempatkan indvidu sebagai entitas sosial paling utama dalam
memahami perilaku negara (Giddens dan Held,
dalam Kristeva, 2011, hal. 347). Individu menurut Marx hanyalah dalam interaksi
dengan individu lain. Ia tidak akan bertindak secara otonom dan terlibat dalam produksi
maupun aktivitas politik. Perbedaan antara budak dan majikan tidaklah penting
bagi kaum liberal karena keduanya merupakan individu yang berdaulat. Namun,
Marx membantahnya karena perbedaan itu akan melahirkan interaksi yang berdampak
pada perbedaan ekonomi dan sosial (Kristeva, 2011, hal. 347) .
Kaum kapitalis juga
mereduksi nilai kemanusiaan menjadi nilai ekonomis. Tenaga kerja menjadi
benda-benda yang menguasai kita dan mirip berhala, kita terjerumus dalam
pemujaan atas dunia semu ini. inilah gambaran Marx mengenai eksploitasi
individu dalam bukunya Capital. (Beilharz, 2005) . Kapitalisme telah
mengeksploitasi para buruh dan menjadikan investasi bagi para borjuis. Kaum
borjuis menurut Marx adalah mereka yang bebas, sedangkan para pekerja tidak
mendapatkan kebebebasan dan tak dapat berkuasa. Kebebasan bagi borjuis adalah
perdagangan dan jual beli bebas (Marx & Engel, 2009, hal. 21) .
Sistem produksi menurut
Marx dijalankan secara gotong royong dan dibagikan secara merata kepada setiap
anggota masyarakat. Adanya kelas-kelas sosial lebih di dalam sistem produksi
yang mengejar surplus. Surplus didapat oleh kelas sosial non-produktif yang
meraih alat-alat produksi sehingga menjadi kelas dominan. Sedangkan kelas
sosial produktif ditindas dan menjadi kelas subordinan (Kristeva, 2011, hal. 348) . Lebih jauh lagi,
Lenin berpendapat bahwa sistem produksi akan menciptakan penjajahan. Hal ini
terjadi karena produksi di negara maju mengalami surplus sedangkan pasar domestik
melemah lantaran konsumennya merupakan kaum proletar. Strategi yang paling
signifikan adalah dengan melakukan ekspansi dagang ke negara lain dibandingkan
dengan menurunkan harga produksi yang jelas mengurangi keuntungan kaum
kapitalis (Zahidi, hal. 24) .
Islam sebagai ajaran
agama memiliki prinsip keadilan. Keadilan ini termasuk dalam sistem ekonomi
yang diterapkan. Ekonomi Islam berprinsip pada kebebasan individu, hak terhadap
harta, kesamaan sosial jaminan sosial, distribusi kekayaan secara meluas dan
kesejahteraan individu dan masyarakat (Rahman, 1995, hal. 8) . Islam memandang
perlu kebebasan individu karena individu tidak dapat menjalankan kewajibannya
dan memenuhi kesejahteraannya tanpa ada kebebasan.
Islam memiliki pandangan
berbeda dengan kapitalis yang mengutamakan kepentingan individu dan Marxis yang
mengutamakan kepentingan kelompok. Individu dipandang Islam sebagai individu
dan makhluk sosial. Dalam ekonomi, individu diberikan kebebasan untuk
mementingkan diri sendiri tanpa membiarkannya merusak masyarakat (Rahman, 1995, hal. 10) . Penumpukan harta dalam Islam dilarang dan
zakat ditekankan agar keadilan sosial ditegakkan dan kesejahteraan dapat
diwujudkan.
C.
Pertentangan kelas dalam pandangan Islam dan marxisme
Apabila kita kembali melihat sejarah
munculnya marxisme yang didasari oleh ketidakpuasan kaum buruh terhadap kaum
kapitalis yang disebabkan oleh adanya eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan
kepada kaum borjuis tersebut menyebabkan teori ini secara garis besar bersifat
konfliktual. Dalam hal ini Karl Marx sebagai pendiri dari paham tersebut
menekankan adanya pertentangan antara kedua kelas tersebut yaitu kaum kapitalis
sebagai pemilik modal dan kaum proletar sebagai tenaga kerja. Pertentangan
tersebut pada akhirnya berujung pada penyamarataan kelas, penyamarataan ekonomi
atau yang biasa disebut dengan sosialisme.
Namun seiring berjalannya waktu pengaruh
marxisme segera mengalami kritikan dari segala penjuru. Banyak pengamat Marxisme
yang mengkritisi sekaligus menilai bahwa Marxisme sudah tidak lagi relevan
dengan perkembangan dunia global saat itu, hal tersebut dikarenakan keadaan
dunia yang bersifat dinamis yang dari hal tersebut muncullah teori teori baru
yang dianggap lebih relevan dengan keadaan masyarakat dunia saat itu. Tidak
terkecuali Islam yang mulai mengkritik pemikiran marxisme yang dianggap terlalu
kaku dan hanya melihat perbedaan manusia hanya bersifat konfliktual dan hanya
terpaku pada hal hal yang bersifat materil.
Lalu bagaimana kemudian Islam memandang
adanya pertentangan antara kaum proletar dan kaum borjuis? Menurut pandangan
islam pertentangan yang terjadi antara kaum kapitalis dan kaum proletar hanya
menitik beratkan pada hal hal yang bersifat materil saja tanpa mengikutsertakan
dan melihat konsep konsep ilahi. Islam memandang dan melihat pertentengan
tersebut tidak lebih dari sekedar seberapa dekat dia dengan sang penciptanya
yaitu iman dan taqwa. Hal tersebut sudah tertuang dalam banyak surat dan ayat
ayat dalam kitab suci al qur’an seperti al An’am 142-143, an-Nahl 10-16, al-Baqarah 213 dan al-Mu’min
13. Isi dari semua surat surat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semua
manusia pada dasarnya sama, tidak berkelas kelas sedangkan perbedaannya adalah
pada keterandalannya dalam taqwa dalam perbuatan amal salehnya ke pada
Allah SWT.
Apabila marxisme melihat perbedaaan ekonomi
hanyalah hal yang bersifat konfliktual dan hanya menyebabkan pertentangan
antara kaum kapitalis dan kaum proletar. Lain pula dengan islam,
ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan sumber sumber ekonomi kepada
perorangan maupun bangsa adalah kuasa Allah, agar mereka diberi kesadaran
menegakkan persamaan masyarakat dan bersyukur kepadanya.
Dalam Islam
setiap muslim, sesuai dengan kemampuannya, bertanggung jawab untuk memberikan
nafkah bagi yang lain karena adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk
melaksanakan perinsip ini. Sebuah hadist mengatakan yang intinya adalah bahwa
seorang mukmin yang tidak memenuhi kebutuhan mukmin lain padahal ia sanggup,
akan dibangkitkan pada ‘’hari pengadilan’’ dakam keadaan wajah menjadi hitam,
mata tercungkil dan tangan terbelenggu tengkuknya. Akan diumumkan bahwa inilah
pengkhianatan yang mengkhianati Allah dan Rasul-Nya yang pada akhirnya kamudian
dia dikirim keneraka. (Sasono, Hafiduddin, &
Saefudin, 1998)
Dalam islam pula, setiap penduduk berhak
mendapatkan keamanan sosialnya agar terhindar dari pertentangan seperti apa
yang terjadi pada kaum Marxisme. Agar tidak terjadi pertentangan tersebut maka
islam mengatur kepada siapa saja yang berhak menerima bantuan dari kaum yang
lebih mampu. Dalam hal itu Islam menjamin dan bertanggung jawab untuk menjamin
agar semua penduduknya hidup layak dan terhormat. Untuk tujuan ini dana
dikumpulkan dari kekayaan negara milik umum ataupun pajak pemerintah. Suatu
hadist mengatakan ‘’adalah tugas penguasa untuk mengumpulkan uang dan
menyalurkannya menurut yang ditetapkan Allah dan di bagikan ke pada delapan
kategori: fakir, miskin, para amil, mereka yang didamaikan, para budak budak,
yang tertawan, yang berhutang dan pejuang pejuang di jalan Allah. Dana itu
dibagikan ke pada golongan ini sesuai dengan kebutuhan mereka sedang dana yang
tersisa dikembalikan ke baitul mal. (As-Shadr, Jakarta)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Marxisme memuliki pandangan penghapusan
kelas-kelas sosial. Tujuan dibentuknya teori ini adalah untuk menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Ia lahir sebagai kritik atas
kapitalisme yang mengeksploitasi manusia dengan harga murah. Marxisme menolak
segala bentuk kapitalisme dan menawarkan konsep baru berupa kesetaraan kelas.
Meski menjunjung keadilan, Marxisme mengandung kekurangan dalam teorinya. Ia
menghapuskan hak individu. Ia juga memandang bahwa agama merupakan candu rakyat
dan alat yang digunakan kaum borjuis untuk mendiamkan para kaum proletar yang
memberontak.
Islam memiliki pandangan tersendiri dalam
memandang keadilan. Islam mengakui adanya hak individu namun diatur oleh hukum
dan moral agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Islam tidak memandang
adanya kelas-kelas sosial. Semua manusia di mata Allah sama, hanya ketakwaan
yang menjadikannya lebih mulia dari yang lain. Ketidaksetaraan dalam kehidupan
sosial diakui oleh Islam bukan sebaagai pemicu konflik, melainkan sebagai jalan
untuk bersyukur kepada Allah dan menegakkan keadilan bagi seluruh manusia.
Adanya perintah berzakat, sedekah dan pemberian-pemberian lain tidak lain agar
keadilan di dunia terwujud dan martabat si pemberi harta meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shadr,
S. . (Jakarta). Keunggulan Ekonomi Islam, Mengkaji Sistem Ekonomi Barat
dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam. 2002: Pustaka Zahra.
Beilharz, P. (2005). Teori-Teori
Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. (S. Jatmiko, Penerj.)
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kristeva, N. S.
(2011). Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Marx, K., & Engel,
F. (2009). Manifesto Partai Komunis. ECONARCH Institute.
Muhammad, A. (2010). Filsafat Politik Antara Barat dan Islam.
Bandung : Pustaka Setia.
Rahman, A. (1995). Doktrin
Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Wakaf.
Sasono, A.,
Hafiduddin, D., & Saefudin, A. (1998). Solusi Islam atas Problematika
Umat: Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah. Malang: Gema Insani Press.
Zahidi, M. (t.thn.).
Pemikir Marxis dalam Hubungan Internasional. Dipetik Januari 11, 2015, dari
http://journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasiona/article/download/1050/1019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar