DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I :
Pendahuluan
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan
Masalah
BAB II :
Pembahasan
Pembahasan
2.1 Sejarah Pelanggaran HAM di Kawasan Afrika
2.1.1 Usaha Penegakan HAM
2.2. Organization of African Unity dan African Union
2.3 Usaha Perkembangan African Union
2.4. Faktor Pelanggaran HAM di Afrika dan Cara Penyelesaiannya
2.5 Dampak Benua Afrika pasca African Union
BAB III :
Penutup
Penutup
3.1.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hakikat yang
dimiliki pada setiap manusia sejak manusia lahir di dunia hingga berakhir masa
hidupnya, hal ini juga diperuntukkan untuk saling menghormati hak semua makhluk
Tuhan bahwa setiap manusia memiliki porsi haknya masing-masing. Dalam perjalanannya
HAM telah banyak melakukan perkembangan dan bergema untuk mencapai titik
kesempurnaan hak setiap insan. Menurut Masyhur Efendi sendiri dalam kajian HAM
dan Hukum Internasional, HAM bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat pada diri seseorang. Sehingga kita dapat mengetahui akan
pentingnya peran HAM dalam tatanan kehidupan manusia dalam menjalankan
kehidupan dengan diringi hak-hak asasi yang dimilikinya.
Benua Afrika adalah suatu kawasan yang terdiri
dari 54 negara yang diakui oleh PBB, hal ini terdapat beberapa permasalahan
yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan memberikan suatu jalan permasalahan
yang terjadi pada kawasan Afrika, Africa Union (AU) adalah sebuah organisasi
yang menjadi badan bagi kawasan Afrika itu sendiri dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia di kawasan
Afrika. Walaupun terlihat mudah dalam pelaksaannya oleh AU akan tetapi dalam
prakteknya AU mendapatkan jalan yang tidak mudah dalam membela dan menegakan hak
asasi di Benua Afrika.
Dalam hal ini dapat dikaitkan oleh konsep Hak
Asasi Manusia Bahwa apa yang terjadi dalam Benua Afrika adalah suatu
permasalahan HAM yang sangat mendalam, hal ini memberikan inisiatif dari
masyarakat Afrika dalam pembentukan African Union dengan tahap-tahap yang
terjadi sangat panjang dan menjadi sejarah bagi kawasan Benua Afrika, setelah
AU ini terbentuk mulailah muncul usaha-usaha yang dapat diselesaikan oleh AU
yang sebelumnya adalah Organization of African Unity (OAU) yang berevolusi
menjadi African Union (AU).
1.2 Rumusan
Masalah.
Permasalahan yang terjadi pada Benua Afrika
ini memberikan penjelasan pada karya tulis ini untuk mengungkapkan hal-hal yang
terjadi pada Benua Afrika dengan konsep 5W+1H untuk dapat mengerti semua secara
singkat dan terperinci. Adapun sub bab-sub bab yang akan dibahas dalam karya
ilmiah ini sebagai berikut :
1. Sejarah Pelanggaran HAM di Kawasan
Afrika.
2. Organization of African Unity dan
African Union.
3. Usaha Perkembangan African Union.
4. Faktor Pelanggaran HAM di Afrika dan
Cara Penyelesaiannya.
5. Dampak Benua Afrika pasca African
Union.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pelanggaran HAM di Kawasan Afrika.
Kedatangan bangsa Belanda di Afrika Selatan
memicu munculnya permasalahan baru di kehidupan masyarakat Afrika Selatan,
dimana derajat masyarkat Afrika berada di bawah derajat bangsa Belanda (orang
kulit putih), pada akhirnya permasalahan kulit putih inilah yang menjadi dasar
fundamental munculnya masalah Apartheid. Sedangkan Apartheid sendiri merupakan suatu sistem pemisahan ras
yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan sejak sekitar
abad ke 20 sampai tahun 1990. Kasus
Apartheid berawal dari semenjak pendudukan bangsa Eropa ( Belanda ) di Afrika,
belanda merupakan bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Afrika Selatan, yang
mana dipimpin oleh Jan Anthony Van Riebeeck (1618-1677).
Bangsa Belanda kemudian memutuskan
untuk menetap dan mereka inilah yang dikenal sebagai bangsa Boer. Kedatangan
Belanda yang akhirnya diikuti oleh Inggris yang telah berhasil melakukan
dominasi kekuasaan dari mulai ujung Afrika Utara (Mesir) hingga ujung Afrika
Selatan (Cape Town). Kedatangan Inggris memicu meletusnya perang Boer di Afrika
Selatan (1899-1677) antara Inggris dan Belanda. Inggris berhasil mengalahkan
Belanda (orang Boer) dalam perang itu, akhirnya wilayah Afrika Selatan manjadi
wilyah kekuasaan Inggris, Inggris menjadi penguasa di daerah kekuasaan Afrika
Selatan. Setelah itu, dibentuklah Uni Afrika Selatan pada tahun 1910.
Kemenangan Inggris di Afrika Selatan ini menjadikan, menjadikan semakin
banyaknya orang-orang Inggris berduyun-duyun untuk datang ke negara Afrika
Selatan.
Kemudian pada saat
orang-orang kulit putih mendominasi rezim Apartheid dan berhasil menguasai pemerintahan
yang ada di Afrika Selatan, mereka membuat kebijakan yang merugikan orang-orang
kulit hitam, yang terjadi tahun 1960. Penduduk Afrika Selatan digolongkan
menjadi empat golongan, diantaranya kulit putih atau keturunan Eropa, Suku
bangsa Batu (salah satu suku di Afrika Selatan), orang Asia yang kebanyakan
adalah Pakistan dan India, dan orang kulit berwarna atau berdarah campuran,
diantaranya adalah kelompok Melayu Cape. Selain itu orang-orang kulit putih
yang menguasai Afrika Selatan melakukan perbuatan dan tindakan yang tidak
pantas terhadap orang-orang kulit hitam.
Adapun peristiwa yang telah menelan
korban jiwa adalah tewasnya 77 orang dari kalangan sipil pada peristiwa
Sharpevile. Begitu pula di tahun 1976 telah terjadinya peristiwa berdarah yang
meneaskan banyak warga sipil, terutama murid-murid sekolah. Peristiwa ini merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia berupa diskriminasi yang telah dilakukan oleh bangsa Belanda
(orang-orang kulit putih) terhadap bangsa Afrika (orang-orang kulit hitam). Diskriminasi
suku di Afrika Selatan ini mendapatkan respon dan perhatian dari dari dunia
internasional, tidak hanya itu LBB yang sekarang berubah manjadi PBB juga
mengutuk atas perbuatan yang dilakukan oleh bangsa Inggris tersebut (Efendi: 2005).
2.1.1 Usaha Penegakan HAM.
Nelson Mandela
merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh bangsa Inggris ini merupakan tindakan
yang tidak manusia lagi, dan ia merasa bahwa Hak Asasi Manusia harus diterapkan
di Negara Afrika Selatan ini. Di Afrika Selatan sendiri, sering terjadi gerakan-gerakan
pemberontakan untuk menghapus pemerintahan Apartheid. maka kemudian ia memimpin sebuah gerakan yang
cukup menghebohkan di kalangan rakyat kulit hitam Afrika Selatan dan dipelopori
oleh African National Congress (ANC). Selain itu ia memprakarsai aksi
rakyat Afrika Selatan dengan bersikukuh untuk tetap tinggal di dalam rumah,
kemudian aksi tersebut direspon oleh pemerintah Apartheid dengan memasukkannya
kedalam penjara Pretoria tahun 1962, dan dibebaskan pada tanggal 11 Februari
1990 pada masa pemerintahan Frederik Willem de Klerk. Dengan pembebasan
tersebut membawa dampak baik terhadap perjuangan warga Afrika Selatan untuk memperjuangkan penghapusan Pemerintah
Apartheid. Bertepatan pada tanggal 7 Juni 1990 Frederik Willem de Klerk secara
resmi telah menghapuskan Undang-undang darurat negara yang berlaku hampir
kepada semua bagian negara Afriak Selatan. Jerih payah Nelson Mandela untuk
menegakkan kekuasaan tanpa adanya rasialisme di Afrika Selatan yang mana
sekaligus menghapuskan dominasi Apartheid yang memekan waktu yang cukup lama.
Selain itu solusi
yang ditawarkan untuk menyelesaikan diskriminasi yang terjadi di Afrika Selatan
ini, juga dengan adanya Banjul charter yang mana telah disusun pada tahun 1981
di Monrovia, Liberia disebelah timur Pantai Gading oleh Organization of
African Unity (OAU). Piagam ini disusun untuk mempromosikan dan melindungi
hak-hak individu dan hak-hak kolektif warga afrika yang pada saat itu dilanda
oleh zionesme, kolonialisme dan aparthide (diskriminasi politik warna
kulit). Oleh karena itu, piagam ini mendapat legitimasi untuk menegakkan
keadilan, kebebasan dan martabat serta menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat
afrika meskipun sudah ada UN charter dan DUHAM. Adapun fungsi utama
didirikannya OAU adalah untuk mengembangkan integrasi negara anggota, serta memperkuat
persatuan dan solidaritas antar anggota organisasi. Sedangkan untuk mencapai
itu semua ataupun merealisasikan visinya, OAU menjunjung keamanan, kedamaian
dan stabilitas rakyat Afrika seluruhnya.
2.2. Organization of African Unity dan African Union.
Pada 25 May 1963 di Addis Ababa, Ethoipia, 32
Negara telah mendapatkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi regional
the Organization of African Unity (OAU) dengan hal ini masuklah 21
negara dalam organisasi OAU ini dan menjadi 53 negara. Pada tahun 2002 Africa
Union (AU) dibentuk sebuah Organisasi yang menjadi tubuh dari benua Afrika dibentuk
pada 9 Juli 2002 yang sebelumnya AU ini adalah Organization
of African Unity (OAU), AU sendiri diikuti oleh 54 Negara dibenua
Afrika, Kantor Pusat dari AU sendiri berada di Addis Ababa, Ethiopia (Institute
For Security Studies Africa).
OAU
memiliki Objek utama, seperti yang tertera pada OAU Charter, objek utamanya
bertujuan untuk persatuan dan solidaritas negara-negara di Afrika berusaha dan
mengkordinasi kerjasama dan berusaha mencapai kehidupan yang lebih baik untuk
Masyarakat di Afrika; keamanan kedaulatan dan integritas teritorial masyarakat
negara; menyingkirkan Kolonialisme dan Apartheid; membawa kerjasama
Internasional dengan kerangka PBB; dan menyelaraskan anggota politik, diplomasi, ekonomi, pendidikan,
budaya, kesehatan, kesejahteraan, keilmuan, teknologi dan kebijakan pertahanan.
Dalam
transisinya menjadi African Union, sekitar tahun 1990-an, pemimpin OAU
menginginkan adanya amandemen struktur OAU dalam mencerminkan tantangan dunia
yang semakin berubah dengan seiringnya berjalan waktu. Pada 1999, Pemimpin
negara dan pemerintahan OAU mengeluarkan
Deklarasi Sirte menyerukan pembentukan Africa Union. Visinya adalah
membangun rangkaian kerja OAU dengan membentuk tubuh yang dapat mempercepat
proses integritas di Afrika, mendukung pemberdayaan Afrika Serikat di Ekonomi
Global dan mengatasi permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan permasalahan
politik di benua (African-Union) . Akhirnya, terdapat empat KTT yang diadakan
dalam memimpin hingga peluncuran resmi African Union, empat tersebut adalah :
1. Sirte Summit (1999), dengan mengadopsi The
Sirte Declaration untuk menyerukan pembentukan AU.
2. Lome Summit (2000), dengan mengadopsi The AU
Constitutive Act.
3. Lusaka Summit (2001), dengan menggambar peta
dalam pelaksanaan AU.
4. Durban Summit (2002), dengan peresmian AU dan
melakukan pembentukan pertama kepala negara dan pemerintahan.
Sejumlah besar struktur OAU diadopsi oleh AU.
Seperti halnya komitmen AOU ini, keputusan dan kerangka strategi membentuk
kebijakan AU. Bagaimana pun poin-poin yang dituliskan yang berasal dari OAU
masih sangatlah kuat, The AU Constitutive Act dan protokol membentuk
sejumlah struktur baru dan berubah secara sempuran pada tahun 2002. Dalam pasal
11 pada protokol terhadap the AU Constitutive Act, bahasa resmi yang digunakan
dalam AU dan semua institusi adalah Arab, Perancis, Portugal, Spanyol,
Kiswahili dan beberapa bahsa yang terdapat di Afrika. Dalam kesehariannya AU
bertugas menggunakan dengan bahasa Arab, Inggris, Perancis dan Portugis
(African-Union).
2.3 Usaha Perkembangan African Union
Tanpa keseimbangan yang wajar, kebebasan tanpa
batas selalu dibahas dalam HAM sama bahayanya dengan tanggung jawab yang
dipaksakan. Banyak ketidakadilan telah diakibatkan oleh kebebasan ekonomi yang
ekstrem dan keserakahan kaum kapitalis. Pada saat yang sama, penindasan kejam
yang dilakukan terhadap kebebasan manusia telah dilaksanakan “demi kepentingan
masyarakat” atau cita-cita komunis untuk
memperjuangkan kebabasan dan juga hak.
Aspirasi
manusia akan kemajuan dan perbaikan hanya dapat terlaksana melalui tercapainya
konsensus mengenai nilai-nilai dan tolak ukur. Hanya jika diterima secara
univeral oleh semua orang dan berlaku untuk semua orang serta lembaga setiap waktu, usaha ini akan
berhasil. Bagaimanapun juga terlepas dari nilai-nilai khusus yang mungkin
dimiliki suatu masyarakat tertentu, hubungan antara mausia secara universal
didasari oleh adanya hak maupun kewajiban.
Dengan didirikannya AU maka perlindungan
hak-hak asasi semakin berkembang di Afrika dan dengan melewati
konsensus-konsensus yang panjang sejak awal 1981, nilai-nilai kemanusiaan untuk
melawan kolonialisme dapat terbentuk sesuai dengan ekspetasinya. Akhirnya,
peresmian African Charter (banjul charter) di Afrika telah berlaku mulai
tahun 1987 dan menjadi landasan nilai-nilai kemanusiaan rakyat Afrika. Piagam
ini menjadi instrumen bagi sistem-sistem yang diterapkan oleh negara-negara
Afrika dalam menjaga dan melindungi moral (Smith: 2005).
Adapun perjanjian-perjanjian yang disepakati
oleh OAU/AU tentang nilai kemanusiaan beberapa diantaranya adalah:
1. African
(Banjul) Charter on Human and Peoples’ Rights
Banjul charter disusun pada tahun 1981 di
Monrovia, Liberia disebelah timur Pantai Gading oleh African Unity (AU).
Piagam/konvenan ini disusun untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak individu
dan hak-hak kolektif warga Afrika yang pada saat itu dilanda oleh zionisme,
kolonialisme dan aparthide (diskriminasi politik warna kulit). Oleh
karena itu, piagam ini mendapat legitimasi untuk menegakkan keadilan, kebebasan
dan martabat serta menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat Afrika meskipun sudah
ada UN charter dan DUHAM. Adapun fungsi utama didirikannya AU adalah untuk
mengembangkan integrasi negara anggota, serta memperkuat persatuan dan
solidaritas antar anggota organisasi. Sedangkan untuk mencapai itu semua
ataupun merealisasikan visinya, AU menjunjung keamanan, kedamaian dan
stabilitas rakyat afrika seluruhnya.
2.
Protocol to the African Charter on Human and Peoples' Rights on the
establishment of an African Court on Human and Peoples' Rights
African Court on Human and Peoples’ Rights merupakan lembaga pengadilan internasional
yang didirikan berdasarkan dengan penetapan African Charter, yang
berfungsi untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia dan masyarakat di
Afrika demi melengkapi dan memperkuat fungsi komisi Afrika tentang hak asasi
manusia. Sedangkan protokol yang dibuat oleh AU sendiri menjadi landasan adanya
lembaga pengadilan ini, karena menurut protokol sebelumnya sudah dibahas
mengenai komplain ataupun protes yang dianggap akan dihadapi oleh lembaga ini.
3. African Charter
on the Rights and Welfare of the Child (ACRWC)
ACRWC ditetapkan oleh OAU/AU sejak 1990 yang
mendorong kemajuan dan melindungi hak-hak yang telah disepakati didalamnya.
Adanya konvensi ini disebabkan oleh fenomena yang dialami oleh kebanyakan
anak-anak di Afrika yang dipengaruhi oleh berbagai jenis kekerasan, termasuk
eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi gender dalam pendidikan dan akses
kesehatan, dan keterlibatan mereka dalam konflik bersenjata. Faktor-faktor lain
yang mempengaruhi anak-anak Afrika termasuk migrasi, pernikahan dini, perbedaan
antara daerah perkotaan dan pedesaan, rumah tangga anak berkepala, anak jalanan
dan kemiskinan. Selanjutnya, pekerja anak di Sub-Sahara Afrika mencapai sekitar
80 juta anak-anak atau berusia 4 dari setiap 10 anak di bawah 14 tahun yang
merupakan tingkat pekerja anak tertinggi di dunia. Hal-hal ini merupakan realitas
yang fenomenal untuk dihadapi oleh negara-negara di Afrika.
4. African
Monetary Union
Lembaga ini merupakan pengusul pertama yang
menggugus pemakaian mata uang yang sama untuk regional Afrika. Sama halnya
dengan “Euro” mata uang yang diharapkan telah membuat adanya bank sentral
Afrika yang menggunakan mata uang afro atau afriq. Sejak adanya
lembaga ini, konvensi yang diadakan di Nigeria yang dinamakan “Abuja Treaty”
telah menghasilkan gagasan Masyarakat Ekonomi Afrika.
Perbedaan yang dirasakan oleh masyarakat oleh
orang Afrika sejak dulu membuat diskriminasi, kolonialisasi bahkan kemungkinan
fobia yang signifikan. Hal ini menjadikan berkurangnya rasa keadilan yang
dirasakan masyarakat Afrika sebagai sesama manusia. Sejak didirikannya Organization
of African Unity (OAU) pada 1963, aspirasi masyarakat Afrika yang kian
bergejolak dapat terwadahkan sesuai dengan ekspetasi adanya. Organisasi ini
sebagai lembaga konstitusional regional berusaha untuk menciptakan perdamaian,
keadilan dan kebebasan yang cukup bagi rakyat Afrika.
2.4. Faktor Pelanggaran HAM di Afrika dan Cara Penyelesaiannya.
Adapun macam-macam HAM atau Hak
Asasi Manusia yaitu menjamin hak atas kesejahteraan, hak untuk bisa hidup, hak
untuk bisa mengembangkan diri, hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak untuk mendapatkan kebebasan pribadi,
hak dalam memperoleh keadilan, hak atas wanita, hak anak dan hak untuk turut
serta didalam pemerintahan.
Namun, tidak semua hak-hak tersebut
dapat diraih dengan mudah oleh seseorang, ada beberapa negara khususnya di
benua Afrika masih sangat banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Ada
beberapa faktor pelanggaran Hak Asasi Manusia di kawasan Afrika, faktor-faktor
tersebut diantaranya adalah: Diskriminasi, Pembunuhan, Pemusnahan, Perbudakan,
Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, Perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik, Penyiksaan, Perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan etnis, budaya, agama, dan jenis kelamin serta tentara
anak dibawah umur.
Diskriminasi di Afrika: Kasus
Apartheid atau pemisahan warga kulit putih dengan kulit hitam yang terjadi di
Afrika Selatan. Diskriminasi kulit hitam diberlakukan di berbagai fasilitas
negara, gedung-gedung, transportasi umum, rumah makan, taman-taman, sekolah dan
perguruan tinggi, rumah sakit dan gereja, serta daerah-daerah permukiman di
setiap kota dan desa dibagi dua antara kulit putih dan kulit hitam.
Di sisi lain terdapat tentara anak
di Afrika. Menurut Cape town principles tentara anak (child soldier) didefinisikan
sebagai seorang di bawah umur 18 tahun yang direkrut atau digunakan oleh
tentara atau kelompok bersenjata. Ironisnya, bersenjata ataupun tidak
bersenjata anak-anak dibawah umur tersebut tidak hanya dijadikan sebagai
tentara tetapi juga diperkerjakan sebagai koki, kuli, utusan dan mata-mata.
Sementara anak perempuan direkrut untuk tujuan kepentingan seksual dan kawin
paksa.
Coalition to stop the use of child
soldiers menyatakan, ada beberapa alasan
tertentu mengapa anak-anak tersebut tergabung kedalam prajurit anak. Disamping
dengan motif pemaksaan dari pihak-pihak tertentu ada juga sebagian anak yang
sengaja menggabungkan dirinya sendiri ke dalam anggota militer atau prajurit
anak secara sukarela. Mereka bergabung kedalamnya karena sudah terbiasa dengan
kekerasan dan kekejaman yang terjadi pada saat konflik bersenjata di negara
masing-masing, minimnya pendidikan yang di dapat, kasus kemiskinan yang semakin
luas menjadi motivasi tersendiri bagi anak-anak tersebut untuk bergabung ke
ranah militer.
Melihat berbagai kejadian yang
berada di kawasan Afrika, maka UNICEF dan mitra bekerja sama dengan ACF,
ACTED, CRS, IRS, DRC memperkuat sistem perlindungan anak nasional di
Afrika. Pada tahun 2009 dengan mitra nasional untuk memulai pemetaan sistem perlindungan
anak regional. Secara organisasi Internasional, ada empat hal utama yang
menjadi peranan UNICEF sebagai organisasi internasional dalam menanggulangi
kasus pelanggaran HAM, antara lain:
1.
Memberikan kehidupan yang lebih baik pada anak-anak.
2.
Membantu setiap anak-anak untuk bertahan dan menjalani kehidupannya
dengan
baik.
3.
Member anak-anak kesempatan untuk menuntut ilmu disekolah.
4.
Menciptakan suasana lingkungan yang kondusif bagi anak-anak
khususnya korban perang.
Ada 3 hal yang menjadi sasaran UNICEF sebagai sebuah organisasi
Internasional antara lain:
1.
Menumbuhkan kepercayaan anak-anak terhadap kepedulian Negara.
2.
Membantu kaum muda untuk membangun sebuah dunia dimana semua
anak-anak hidup secara terhormat dan memperoleh keamanan.
3.
Menciptakan dunia yang cocok untuk anak-anak. (Waladeri. 2014:
928-929)
Dalam menanggulangi berbagai kasus pelanggaran HAM di Afrika,
seperti yang dilansir di berita internasional Republika pada tanggal 16 April
2013, Sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-Mood menyatakan
bahwasannya PBB berjanji akan terus mendukung semua upaya pencegahan konflik,
memberantas kemiskinan, menanggulangi tentara anak, diskriminasi, pemerkosaan
dan berbagai kasus pelanggaran HAM di Afrika. Selain solusi dari PBB, menurut
Stanton (1998; 8) ia mengemukakan tujuh langkah untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM yang ada di Afrika, yaitu:
1.
Klarifikasi: bangsa yang
dibagi ke dalam “kita dan mereka”. Tindakan pencegahan utama pada tingkat awal
ini adalah mengembangkan lembaga-lembaga yang universalistik yang transendental
(to develop universalistic institutions that transcends)
2.
Simbolisasi: ketika dikombinasikan
dengan kebencian, simbil-simbol akan dipaksakan atas ketidakmauan
anggota-anggota kelompok lain. Untuk melawan atau memberantas simbolisasi,
simbol-simbol kebencian dapat dilarang secara hukum (to sombat
symbolization, hate symbols can be legally forbidden).
3.
Organisasi: kejahatan
genosida yang terorganisir. Unit-unit tentara khusus atau milisi sering dilatih
dan dipersenjatai. Karenanya, anggota-anggota unit atau milisi ini harus
dilarang membership in these militian be outlawed)
4.
Polarisasi: kelompok-kelompok
yang menyiarkan atau menabur kebencian melalui propaganda. Pencegahan dapat
dilakukan dengan memberikan keamanan kepada pemimpin mederat atau bantuan bagi
kelompok-kelompok HAM (security protection for moderate leaders or
assistance to human rights groups).
5.
Identifikasi: korban-korban
diidentifikasi dan dipisahkan karena identitas etnik atau afama mereka (victims
are identified and saparated our because of their ethnic or religious
identity).
6.
Permusuhan: Pada langkah
ini: hanya intervensi militer yang cepat dan besar dapat menghentikannya (only
rapid and overwhelming armed intervention can stop).
7.
Penyangkalan: pelaku-pelaku
menyangkal bahwa mereka telah melakukan kejahatan. Respons bagi penyangkalan
adalah penghukuman melalui suatu mahkamah internasional atau nasional (the
reponse to denial is punishment by an international tribunal or national
court).
2.5 Dampak Benua Afrika pasca African Union.
Keadaan atau situasi di Afrika yang dapat kita
tahu saat ini yang tidak dapat terelakkan lagi bahwa dari segi ekonomi, sosial,
budaya, pedidikan dan juga politik negaranya masih belum stabil, sehingga dalam
penerapannya hak-hak asasi masih kurang terlaksana, walaupun sudah banyak
usaha-usaha yang telah dilakuakan oleh AU tersendiri, dalam hal ini akan
dijelaskan bidang-bidang keadaan Afrika pada saat ini, diantaranya :
Dibidang pendidikan,,
karena pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara, majunya
suatu negara tergantung dari bagaimana kemajuan pendidikan yang ada
didalam negara tersebut. Afrika merupakan suatu benua
terbesar ketiga setelah Asia dan Amerika didunia, yang mana wilayah ini
merupakan wilayah mayoritas ras nya berkulit hitam dan minoritas berkulit
putih. Afrika sendiri merupakan wilayah yang saat ini mempunyai pendidikan yang tinggi.
Afrika yang berpenduduk mayoritas namun dipimpin oleh minoritas ras kulit
putih, hal ini menjadikan suatu diskriminasi sosial, sebagaimana ras
kulit hitam tidak diberikan kebebasaan seperti selayaknya manusia, mereka tidak
boleh berkumpul, dan tidak diikutkan sertakan untuk menduduki kursi parlemen.
Dalam bidang pendidikan pun terjadi perbedaan kesamaan yaitu pemisahan atau
diskrimansi antara kulit putih dan hitam ketika itu.
Semasa era Apartheid kulit putih sangat
mendominasi kelas-kelas sekolah dibandingkan dengan kulit hitam, namun di era
sekarang telah terjadi perubahan dimana kulit hitam diberikan kebebasan dengan
tambahan kuota untuk memasuki jenjang-jenajang pendidikan yang sebelumnya hanya
dimiliki oleh ras kulit putih. Hal tersebut
merupakan contoh yang terjadi di Afrika Selatan yang terjadi diskrimasi semacam
itu, namun setelah terpilihnya Presiden Nelson Mandela, sistem
pendidikan yang ada disana menjadi sistem pendidikan yang tinggi, terjadi
penambahan dan kebebasan bagi kulit putih untuk dapat mengenyam pendidikan di
berbagai sekolah maupun Universita-universitas, bahkan untuk biaya
belajar di Afrika Selatan terbilang cukup relative mudah dan standard, kemudian
biaya akomodasi belajar dan tempat tinggal yang standar pula dan dengan
fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan para pelajar, bahkan para pelajar
di Afrika Selatan mendapatkan potongan biaya bila mereka berkunjung
ketempat-tempat wisata untuk refreshing seperti Bioskop, Teater,
Museum,
Perpustakaan,
bahkan mereka mendapatkan potongan harga jika ingin membeli buku pelajaran yang
dibutuhkannya.
Hal ini semua untuk menopang aktivitas pendidikan untuk para pelajar di kawasan
Afrika Selatan. Namun issue yang belakangan ini terdengar di kawasan Afrika
adalah bahwa adanya diskriminasi terhadap anak-anak cacat di Afrika Selatan,
yang mana mereka tidak diperkenankan untuk masuk mengikuti sekolah utama dan
mereka ditolak untuk mendapatkan kesempatan di sekolah itu seperti anak-anak biasa,
mereka di asingkan untuk mengikuti kegiatan sekolah di seklolah khusus.
Dalam bidang Politik, Afrika sendiri mengalami distabilitas politik pemerintahan, keadaan di Afrika telah banyak didominasi oleh
pihak luar yang memiliki kepentingan di Afrika. Terjadinya social movement
atau kudeta oleh para angkatan militer terhadap pemimpin di Afrika, terlebih karena Afrika sendiri
merupaka negara bekas kolonial, maka tidak heran jika nilia-nilai koloninya masih terdapat
dalam negara tersebut.
Ketidakstabilan politik di Afrika menyebabkan
kepada kemiskinan rakyat-rakyat di Afrika dan menyebabkan adanya suatu konflik
antara masyarakat maupun dengan pihak luar. Seperti yang kita kenal di Afrika
terdapat politik Apartheid yakni adanya suatu pemisahan, pemisahan disini yaitu
pemisahan antara kulit putih dan kulit hitam, yaitu minoritas kulit hitam di
mayoritaskan di Afrika dari pada mayorits kulit hitam yang di minoritaskan. Ini semua berawal dari Belanda (kulit putih) yang datang ke
Afrika, dengan kedatangan bangsa Eropa (Belanda) ini ke
Afrika menimbulkan masalah, dan masalah kulit ini merupakan pangkal dari pada
politik Apartheid
ini. Dalam perkembangannaya politik Apartheid ketika partai nasional
menguasai Afrika Selatan yang di tangani oleh Inggris dan Belanda,
dan sejak itulah pemerintahan Afrika Selatan membentuk perundang-undangan
dengan adanya pemisahan golongan secara rasial. Dalam hal ini golongan tersebut
terbentuk pada tiga golongan ras, dan minoritas kulit putih menguasai kulit
hitam.
Selanjutnya adalah ketika sebelumnya para
masyarakat belum mengetahui tentang sistem pemerintahannya, lambat laun mereka
mengetahui tentang tujuan tersebut, bahwa adanya suatu diskriminasi soisal yang
rasial (membedakan warna kulit) dari sinilah para civitas masyarakat mengadakan
suatu perlawanan, namun Pieter Botha menumpas semua perlawanan masyarakat
tersebut dan akhirnya banyak para tokoh-tokoh kulit hitam yang menderita,
seperti Nelson Mandela yang harus mendekam dipenjara selama 27 tahun. Kini di Afrika Selatan telah berubah dari sebelumnya, yang mana
masyarakat sipil memegang peranan penting dalam terlaksananya sistem
politik demi tercapainya suatu good governance. Setelah mengalami
politik Apartheid,
dibawah kepemimpinan Nelson Mandela kini tidak ada lagi perbedaan rasial namun
diberlakukannya suatu sistem politik yang menghormati persamaan hak warga negara. Proses
pengambilan keputusan yang bukan hanya melibatkan rakyat sipil,
namun adanya kebijakan bagi seluruh institusi masyarakat dibolehkan untuk
berpartisipasi dalam menyalurkan idenya partisispasinya yang bukan hanya
melalaui partai politik dan pada akhirnya organisasi-organisasi inilah yang memprotes jika
terjadinya ineffective governance.
Dalam masalah keagamaan, seperti
yang telah dilansir
beberapa berita, masih terdapat konflik anatara agama di daerah Afrika yang saling berkonflik,
paling terlihat adalah agama Islam dan Kristen, dimana agama Islam
ditembak hidup-hidup oleh sekawanan orang yang mengenakan pakaian militer
dengan membawa senjata api dan menembakkan senjata tersebut dengan pelurunya kepada tawanan
muslim dengan secara paksa menggulingkan orang muslim tersebut ketanah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Kedatangan
bangsa Belanda di Afrika Selatan memicu munculnya permasalahan baru di
kehidupan masyarakat Afrika Selatan, dimana derajat masyarkat Afrika berada di
bawah derajat bangsa Belanda (orang kulit putih), pada akhirnya permasalahan
kulit putih inilah yang menjadi dasar fundamental munculnya masalah Apartheid.
Hal inilah yang menjadikan Benua Afrika terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
Organization
of African Unity yang berevolusi menjadi African Union ini menjadi
badan dari organisasi di Benua Afrika, hal inilah yang menjadi wadah untuk
persatuan dan solidaritas negara-negara di Afrika berusaha dan mengkordinasi
kerjasama dan berusaha mencapai kehidupan yang lebih baik untuk Masyarakat di
Afrika; keamanan kedaulatan dan integritas teritorial masyarakat negara;
menyingkirkan Kolonialisme dan Apartheid; membawa kerjasama Internasional
dengan kerangka PBB; dan menyelaraskan anggota
politik, diplomasi, ekonomi, pendidikan, budaya, kesehatan,
kesejahteraan, keilmuan, teknologi dan kebijakan pertahanan.
Dengan didirikannya AU maka perlindungan
hak-hak asasi semakin berkembang di Afrika dan dengan melewati
konsensus-konsensus yang panjang sejak awal 1981, nilai-nilai kemanusiaan untuk
melawan kolonialisme dapat terbentuk sesuai dengan ekspetasinya. Akhirnya,
peresmian African Charter (banjul charter) di Afrika telah berlaku mulai
tahun 1987 dan menjadi landasan nilai-nilai kemanusiaan rakyat Afrika. Piagam
ini menjadi instrumen bagi sistem-sistem yang diterapkan oleh negara-negara
Afrika dalam menjaga dan melindungi moral.
Keadaan
atau situasi di Afrika yang dapat kita tahu saat ini yang tidak dapat
terelakkan lagi bahwa dari segi ekonomi, sosial, budaya, pedidikan dan juga
politik negaranya masih belum stabil, sehingga dalam penerapannya hak-hak asasi
masih kurang terlaksana, walaupun sudah banyak usaha-usaha yang telah
dilakuakan oleh AU tersendiri, dalam hal ini akan dijelaskan bidang-bidang
keadaan Afrika pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Book.
African (Banjul) Charter On Human And Peoples' Rights. (Adopted 27
June1981, OAU Doc.
CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (1982),
entered into force
21
October 1986).
Effendi, A. Masyhur dan Taufani S. Evandr.
(2005). HAM Dalam Dinamika/ Dimensi Hukum,
Politik, Ekonomi dan Sosial. Ghalia Indonesia.
Bogor.
Gregory Stanton.(1998). The Seven Stages
of Genocide, Washington, D.C.
Smith, Rhona K. (2005). Text-book on
“International Human Rights”. Oxford University
Express, New York.
Waladeri, Lista. (2014). Peran UNICEF
Dalam Mengatasi Permasalahan Milisi
Anak di Republik Afrika Tengah.
Jurnal Ilmu Hubungan Internasional fisip-Unmul.
Vol: 2. No: 4.
E-Source.
African Union. (2016). History of the OAU and
AU. Diakses pada 20 Maret 2016. Dengan
Institute for Security Studies. (2016) Africa
Union. Diakses pada 20 Maret 2016. Dengan alamat
Mardiani, Dewi. (2013). Perhatian Penyebab Konflik di Afrika. Selasa, 16 April
2013, 22.10 wib diakses pada website http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/16/mlcssz-pbb-perhatikan-penyebab-konflik-di-afrika. Diakses pada 20 Maret 2016, 23.18.
Apakah itu termasuk pelanggaran ham internasional?
BalasHapus