Minggu, 20 Maret 2016

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI AFRIKA


DAFTAR ISI

Daftar Isi
BAB I : 
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah
BAB II : 
Pembahasan
            2.1 Sejarah Pelanggaran HAM di Kawasan Afrika
                        2.1.1 Usaha Penegakan HAM
            2.2. Organization of African Unity dan African Union
            2.3 Usaha Perkembangan African Union
            2.4. Faktor Pelanggaran HAM di Afrika dan Cara Penyelesaiannya
            2.5 Dampak Benua Afrika pasca African Union
BAB III : 
Penutup
            3.1. Kesimpulan
Daftar Pustaka



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hakikat yang dimiliki pada setiap manusia sejak manusia lahir di dunia hingga berakhir masa hidupnya, hal ini juga diperuntukkan untuk saling menghormati hak semua makhluk Tuhan bahwa setiap manusia memiliki porsi haknya masing-masing. Dalam perjalanannya HAM telah banyak melakukan perkembangan dan bergema untuk mencapai titik kesempurnaan hak setiap insan. Menurut Masyhur Efendi sendiri dalam kajian HAM dan Hukum Internasional, HAM bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pada diri seseorang. Sehingga kita dapat mengetahui akan pentingnya peran HAM dalam tatanan kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupan dengan diringi hak-hak asasi yang dimilikinya. 
Benua Afrika adalah suatu kawasan yang terdiri dari 54 negara yang diakui oleh PBB, hal ini terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan memberikan suatu jalan permasalahan yang terjadi pada kawasan Afrika, Africa Union (AU) adalah sebuah organisasi yang menjadi badan bagi kawasan Afrika itu sendiri dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia di kawasan Afrika. Walaupun terlihat mudah dalam pelaksaannya oleh AU akan tetapi dalam prakteknya AU mendapatkan jalan yang tidak mudah dalam membela dan menegakan hak asasi di Benua Afrika.
Dalam hal ini dapat dikaitkan oleh konsep Hak Asasi Manusia Bahwa apa yang terjadi dalam Benua Afrika adalah suatu permasalahan HAM yang sangat mendalam, hal ini memberikan inisiatif dari masyarakat Afrika dalam pembentukan African Union dengan tahap-tahap yang terjadi sangat panjang dan menjadi sejarah bagi kawasan Benua Afrika, setelah AU ini terbentuk mulailah muncul usaha-usaha yang dapat diselesaikan oleh AU yang sebelumnya adalah Organization of African Unity (OAU) yang berevolusi menjadi African Union (AU).


1.2  Rumusan Masalah.
Permasalahan yang terjadi pada Benua Afrika ini memberikan penjelasan pada karya tulis ini untuk mengungkapkan hal-hal yang terjadi pada Benua Afrika dengan konsep 5W+1H untuk dapat mengerti semua secara singkat dan terperinci. Adapun sub bab-sub bab yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini sebagai berikut :
1.      Sejarah Pelanggaran HAM di Kawasan Afrika.
2.      Organization of African Unity dan African Union.
3.      Usaha Perkembangan African Union.
4.      Faktor Pelanggaran HAM di Afrika dan Cara Penyelesaiannya.
5.      Dampak Benua Afrika pasca African Union.  


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pelanggaran HAM di Kawasan Afrika.
Kedatangan bangsa Belanda di Afrika Selatan memicu munculnya permasalahan baru di kehidupan masyarakat Afrika Selatan, dimana derajat masyarkat Afrika berada di bawah derajat bangsa Belanda (orang kulit putih), pada akhirnya permasalahan kulit putih inilah yang menjadi dasar fundamental munculnya masalah Apartheid. Sedangkan Apartheid sendiri merupakan suatu sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan sejak sekitar abad ke 20 sampai tahun 1990.  Kasus Apartheid berawal dari semenjak pendudukan bangsa Eropa ( Belanda ) di Afrika, belanda merupakan bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Afrika Selatan, yang mana dipimpin oleh Jan Anthony Van Riebeeck (1618-1677).
Bangsa Belanda kemudian memutuskan untuk menetap dan mereka inilah yang dikenal sebagai bangsa Boer. Kedatangan Belanda yang akhirnya diikuti oleh Inggris yang telah berhasil melakukan dominasi kekuasaan dari mulai ujung Afrika Utara (Mesir) hingga ujung Afrika Selatan (Cape Town). Kedatangan Inggris memicu meletusnya perang Boer di Afrika Selatan (1899-1677) antara Inggris dan Belanda. Inggris berhasil mengalahkan Belanda (orang Boer) dalam perang itu, akhirnya wilayah Afrika Selatan manjadi wilyah kekuasaan Inggris, Inggris menjadi penguasa di daerah kekuasaan Afrika Selatan. Setelah itu, dibentuklah Uni Afrika Selatan pada tahun 1910. Kemenangan Inggris di Afrika Selatan ini menjadikan, menjadikan semakin banyaknya orang-orang Inggris berduyun-duyun untuk datang ke negara Afrika Selatan.
            Kemudian pada saat orang-orang kulit putih mendominasi rezim Apartheid dan berhasil menguasai pemerintahan yang ada di Afrika Selatan, mereka membuat kebijakan yang merugikan orang-orang kulit hitam, yang terjadi tahun 1960. Penduduk Afrika Selatan digolongkan menjadi empat golongan, diantaranya kulit putih atau keturunan Eropa, Suku bangsa Batu (salah satu suku di Afrika Selatan), orang Asia yang kebanyakan adalah Pakistan dan India, dan orang kulit berwarna atau berdarah campuran, diantaranya adalah kelompok Melayu Cape. Selain itu orang-orang kulit putih yang menguasai Afrika Selatan melakukan perbuatan dan tindakan yang tidak pantas terhadap orang-orang kulit hitam.
Adapun peristiwa yang telah menelan korban jiwa adalah tewasnya 77 orang dari kalangan sipil pada peristiwa Sharpevile. Begitu pula di tahun 1976 telah terjadinya peristiwa berdarah yang meneaskan banyak warga sipil, terutama murid-murid sekolah.  Peristiwa ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia berupa diskriminasi yang telah dilakukan oleh bangsa Belanda (orang-orang kulit putih) terhadap bangsa Afrika (orang-orang kulit hitam). Diskriminasi suku di Afrika Selatan ini mendapatkan respon dan perhatian dari dari dunia internasional, tidak hanya itu LBB yang sekarang berubah manjadi PBB juga mengutuk atas perbuatan yang dilakukan oleh bangsa Inggris tersebut (Efendi: 2005).
2.1.1 Usaha Penegakan HAM.
            Nelson Mandela merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh bangsa Inggris ini merupakan tindakan yang tidak manusia lagi, dan ia merasa bahwa Hak Asasi Manusia harus diterapkan di Negara Afrika Selatan ini. Di Afrika Selatan sendiri, sering terjadi gerakan-gerakan pemberontakan untuk menghapus pemerintahan Apartheid.  maka kemudian ia memimpin sebuah gerakan yang cukup menghebohkan di kalangan rakyat kulit hitam Afrika Selatan dan dipelopori oleh African National Congress (ANC). Selain itu ia memprakarsai aksi rakyat Afrika Selatan dengan bersikukuh untuk tetap tinggal di dalam rumah, kemudian aksi tersebut direspon oleh pemerintah Apartheid dengan memasukkannya kedalam penjara Pretoria tahun 1962, dan dibebaskan pada tanggal 11 Februari 1990 pada masa pemerintahan Frederik Willem de Klerk. Dengan pembebasan tersebut membawa dampak baik terhadap perjuangan warga Afrika Selatan  untuk memperjuangkan penghapusan Pemerintah Apartheid. Bertepatan pada tanggal 7 Juni 1990 Frederik Willem de Klerk secara resmi telah menghapuskan Undang-undang darurat negara yang berlaku hampir kepada semua bagian negara Afriak Selatan. Jerih payah Nelson Mandela untuk menegakkan kekuasaan tanpa adanya rasialisme di Afrika Selatan yang mana sekaligus menghapuskan dominasi Apartheid yang memekan waktu yang cukup lama.
            Selain itu solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan diskriminasi yang terjadi di Afrika Selatan ini, juga dengan adanya Banjul charter yang mana telah disusun pada tahun 1981 di Monrovia, Liberia disebelah timur Pantai Gading oleh Organization of African Unity (OAU). Piagam ini disusun untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak individu dan hak-hak kolektif warga afrika yang pada saat itu dilanda oleh zionesme, kolonialisme dan aparthide (diskriminasi politik warna kulit). Oleh karena itu, piagam ini mendapat legitimasi untuk menegakkan keadilan, kebebasan dan martabat serta menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat afrika meskipun sudah ada UN charter dan DUHAM. Adapun fungsi utama didirikannya OAU adalah untuk mengembangkan integrasi negara anggota, serta memperkuat persatuan dan solidaritas antar anggota organisasi. Sedangkan untuk mencapai itu semua ataupun merealisasikan visinya, OAU menjunjung keamanan, kedamaian dan stabilitas rakyat Afrika seluruhnya.
2.2. Organization of African Unity dan African Union.
Pada 25 May 1963 di Addis Ababa, Ethoipia, 32 Negara telah mendapatkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi regional the Organization of African Unity (OAU) dengan hal ini masuklah 21 negara dalam organisasi OAU ini dan menjadi 53 negara. Pada tahun 2002 Africa Union (AU) dibentuk sebuah Organisasi yang menjadi tubuh dari benua Afrika dibentuk pada 9 Juli 2002 yang sebelumnya AU ini adalah Organization of African Unity (OAU), AU sendiri diikuti oleh 54 Negara dibenua Afrika, Kantor Pusat dari AU sendiri berada di Addis Ababa, Ethiopia (Institute For Security Studies Africa).
            OAU memiliki Objek utama, seperti yang tertera pada OAU Charter, objek utamanya bertujuan untuk persatuan dan solidaritas negara-negara di Afrika berusaha dan mengkordinasi kerjasama dan berusaha mencapai kehidupan yang lebih baik untuk Masyarakat di Afrika; keamanan kedaulatan dan integritas teritorial masyarakat negara; menyingkirkan Kolonialisme dan Apartheid; membawa kerjasama Internasional dengan kerangka PBB; dan menyelaraskan anggota  politik, diplomasi, ekonomi, pendidikan, budaya, kesehatan, kesejahteraan, keilmuan, teknologi dan kebijakan pertahanan.
            Dalam transisinya menjadi African Union, sekitar tahun 1990-an, pemimpin OAU menginginkan adanya amandemen struktur OAU dalam mencerminkan tantangan dunia yang semakin berubah dengan seiringnya berjalan waktu. Pada 1999, Pemimpin negara dan pemerintahan  OAU mengeluarkan Deklarasi Sirte menyerukan pembentukan Africa Union. Visinya adalah membangun rangkaian kerja OAU dengan membentuk tubuh yang dapat mempercepat proses integritas di Afrika, mendukung pemberdayaan Afrika Serikat di Ekonomi Global dan mengatasi permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan permasalahan politik di benua (African-Union) . Akhirnya, terdapat empat KTT yang diadakan dalam memimpin hingga peluncuran resmi African Union, empat tersebut adalah :
1.      Sirte Summit (1999), dengan mengadopsi The Sirte Declaration untuk menyerukan pembentukan AU.
2.      Lome Summit (2000), dengan mengadopsi The AU Constitutive Act.
3.      Lusaka Summit (2001), dengan menggambar peta dalam pelaksanaan AU.
4.      Durban Summit (2002), dengan peresmian AU dan melakukan pembentukan pertama kepala negara dan pemerintahan.
Sejumlah besar struktur OAU diadopsi oleh AU. Seperti halnya komitmen AOU ini, keputusan dan kerangka strategi membentuk kebijakan AU. Bagaimana pun poin-poin yang dituliskan yang berasal dari OAU masih sangatlah kuat, The AU Constitutive Act dan protokol membentuk sejumlah struktur baru dan berubah secara sempuran pada tahun 2002. Dalam pasal 11 pada protokol terhadap the AU Constitutive Act, bahasa resmi yang digunakan dalam AU dan semua institusi adalah Arab, Perancis, Portugal, Spanyol, Kiswahili dan beberapa bahsa yang terdapat di Afrika. Dalam kesehariannya AU bertugas menggunakan dengan bahasa Arab, Inggris, Perancis dan Portugis (African-Union).
2.3 Usaha Perkembangan African Union
            Tanpa keseimbangan yang wajar, kebebasan tanpa batas selalu dibahas dalam HAM sama bahayanya dengan tanggung jawab yang dipaksakan. Banyak ketidakadilan telah diakibatkan oleh kebebasan ekonomi yang ekstrem dan keserakahan kaum kapitalis. Pada saat yang sama, penindasan kejam yang dilakukan terhadap kebebasan manusia telah dilaksanakan “demi kepentingan masyarakat” atau cita-cita komunis  untuk memperjuangkan kebabasan dan juga hak.
            Aspirasi manusia akan kemajuan dan perbaikan hanya dapat terlaksana melalui tercapainya konsensus mengenai nilai-nilai dan tolak ukur. Hanya jika diterima secara univeral oleh semua orang dan berlaku untuk semua orang serta  lembaga setiap waktu, usaha ini akan berhasil. Bagaimanapun juga terlepas dari nilai-nilai khusus yang mungkin dimiliki suatu masyarakat tertentu, hubungan antara mausia secara universal didasari oleh adanya hak maupun kewajiban.
Dengan didirikannya AU maka perlindungan hak-hak asasi semakin berkembang di Afrika dan dengan melewati konsensus-konsensus yang panjang sejak awal 1981, nilai-nilai kemanusiaan untuk melawan kolonialisme dapat terbentuk sesuai dengan ekspetasinya. Akhirnya, peresmian African Charter (banjul charter) di Afrika telah berlaku mulai tahun 1987 dan menjadi landasan nilai-nilai kemanusiaan rakyat Afrika. Piagam ini menjadi instrumen bagi sistem-sistem yang diterapkan oleh negara-negara Afrika dalam menjaga dan melindungi moral (Smith: 2005).
Adapun perjanjian-perjanjian yang disepakati oleh OAU/AU tentang nilai kemanusiaan beberapa diantaranya adalah:
1.      African (Banjul) Charter on Human and Peoples’ Rights
Banjul charter disusun pada tahun 1981 di Monrovia, Liberia disebelah timur Pantai Gading oleh African Unity (AU). Piagam/konvenan ini disusun untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak individu dan hak-hak kolektif warga Afrika yang pada saat itu dilanda oleh zionisme, kolonialisme dan aparthide (diskriminasi politik warna kulit). Oleh karena itu, piagam ini mendapat legitimasi untuk menegakkan keadilan, kebebasan dan martabat serta menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat Afrika meskipun sudah ada UN charter dan DUHAM. Adapun fungsi utama didirikannya AU adalah untuk mengembangkan integrasi negara anggota, serta memperkuat persatuan dan solidaritas antar anggota organisasi. Sedangkan untuk mencapai itu semua ataupun merealisasikan visinya, AU menjunjung keamanan, kedamaian dan stabilitas rakyat afrika seluruhnya.
2.      Protocol to the African Charter on Human and Peoples' Rights on the establishment of an African Court on Human and Peoples' Rights
African Court on Human and Peoples’ Rights merupakan lembaga pengadilan internasional yang didirikan berdasarkan dengan penetapan African Charter, yang berfungsi untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia dan masyarakat di Afrika demi melengkapi dan memperkuat fungsi komisi Afrika tentang hak asasi manusia. Sedangkan protokol yang dibuat oleh AU sendiri menjadi landasan adanya lembaga pengadilan ini, karena menurut protokol sebelumnya sudah dibahas mengenai komplain ataupun protes yang dianggap akan dihadapi oleh lembaga ini.
3.      African Charter on the Rights and Welfare of the Child (ACRWC)
ACRWC ditetapkan oleh OAU/AU sejak 1990 yang mendorong kemajuan dan melindungi hak-hak yang telah disepakati didalamnya. Adanya konvensi ini disebabkan oleh fenomena yang dialami oleh kebanyakan anak-anak di Afrika yang dipengaruhi oleh berbagai jenis kekerasan, termasuk eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi gender dalam pendidikan dan akses kesehatan, dan keterlibatan mereka dalam konflik bersenjata. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anak-anak Afrika termasuk migrasi, pernikahan dini, perbedaan antara daerah perkotaan dan pedesaan, rumah tangga anak berkepala, anak jalanan dan kemiskinan. Selanjutnya, pekerja anak di Sub-Sahara Afrika mencapai sekitar 80 juta anak-anak atau berusia 4 dari setiap 10 anak di bawah 14 tahun yang merupakan tingkat pekerja anak tertinggi di dunia. Hal-hal ini merupakan realitas yang fenomenal untuk dihadapi oleh negara-negara di Afrika.
4.      African Monetary Union
Lembaga ini merupakan pengusul pertama yang menggugus pemakaian mata uang yang sama untuk regional Afrika. Sama halnya dengan “Euro” mata uang yang diharapkan telah membuat adanya bank sentral Afrika yang menggunakan mata uang afro atau afriq. Sejak adanya lembaga ini, konvensi yang diadakan di Nigeria yang dinamakan “Abuja Treaty” telah menghasilkan gagasan Masyarakat Ekonomi Afrika.
Perbedaan yang dirasakan oleh masyarakat oleh orang Afrika sejak dulu membuat diskriminasi, kolonialisasi bahkan kemungkinan fobia yang signifikan. Hal ini menjadikan berkurangnya rasa keadilan yang dirasakan masyarakat Afrika sebagai sesama manusia. Sejak didirikannya Organization of African Unity (OAU) pada 1963, aspirasi masyarakat Afrika yang kian bergejolak dapat terwadahkan sesuai dengan ekspetasi adanya. Organisasi ini sebagai lembaga konstitusional regional berusaha untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan kebebasan yang cukup bagi rakyat Afrika.

2.4. Faktor Pelanggaran HAM di Afrika dan Cara Penyelesaiannya.
           
Hak Asasi Manusia menurut Undang-undang no. 39 tahun 1999, HAM adalah suatu perangkat hak yang telah melekat pada hakikat dan eksistensi manusia sebagai bentuk makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan sebuah Anugerah yang mesti wajib dihormati sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang mesti dihormati dan dijunjung tinggi serta dilindungi negara, pemerintah, masyarakat dan hukum untuk memberikan jaminan hidup dan perlindungan kepada harkat dan martabat kemanusiaan.
Adapun macam-macam HAM atau Hak Asasi Manusia yaitu menjamin hak atas kesejahteraan, hak untuk bisa hidup, hak untuk bisa mengembangkan diri, hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak untuk mendapatkan kebebasan pribadi, hak dalam memperoleh keadilan, hak atas wanita, hak anak dan hak untuk turut serta didalam pemerintahan.
Namun, tidak semua hak-hak tersebut dapat diraih dengan mudah oleh seseorang, ada beberapa negara khususnya di benua Afrika masih sangat banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Ada beberapa faktor pelanggaran Hak Asasi Manusia di kawasan Afrika, faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: Diskriminasi, Pembunuhan, Pemusnahan, Perbudakan, Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik, Penyiksaan, Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan etnis, budaya, agama, dan jenis kelamin serta tentara anak dibawah umur.
Diskriminasi di Afrika: Kasus Apartheid atau pemisahan warga kulit putih dengan kulit hitam yang terjadi di Afrika Selatan. Diskriminasi kulit hitam diberlakukan di berbagai fasilitas negara, gedung-gedung, transportasi umum, rumah makan, taman-taman, sekolah dan perguruan tinggi, rumah sakit dan gereja, serta daerah-daerah permukiman di setiap kota dan desa dibagi dua antara kulit putih dan kulit hitam.
Di sisi lain terdapat tentara anak di Afrika. Menurut Cape town principles tentara anak (child soldier) didefinisikan sebagai seorang di bawah umur 18 tahun yang direkrut atau digunakan oleh tentara atau kelompok bersenjata. Ironisnya, bersenjata ataupun tidak bersenjata anak-anak dibawah umur tersebut tidak hanya dijadikan sebagai tentara tetapi juga diperkerjakan sebagai koki, kuli, utusan dan mata-mata. Sementara anak perempuan direkrut untuk tujuan kepentingan seksual dan kawin paksa. 
Coalition to stop the use of child soldiers menyatakan, ada beberapa alasan tertentu mengapa anak-anak tersebut tergabung kedalam prajurit anak. Disamping dengan motif pemaksaan dari pihak-pihak tertentu ada juga sebagian anak yang sengaja menggabungkan dirinya sendiri ke dalam anggota militer atau prajurit anak secara sukarela. Mereka bergabung kedalamnya karena sudah terbiasa dengan kekerasan dan kekejaman yang terjadi pada saat konflik bersenjata di negara masing-masing, minimnya pendidikan yang di dapat, kasus kemiskinan yang semakin luas menjadi motivasi tersendiri bagi anak-anak tersebut untuk bergabung ke ranah militer.
Melihat berbagai kejadian yang berada di kawasan Afrika, maka UNICEF dan mitra bekerja sama dengan ACF, ACTED, CRS, IRS, DRC memperkuat sistem perlindungan anak nasional di Afrika. Pada tahun 2009 dengan mitra nasional untuk memulai pemetaan sistem perlindungan anak regional. Secara organisasi Internasional, ada empat hal utama yang menjadi peranan UNICEF sebagai organisasi internasional dalam menanggulangi kasus pelanggaran HAM, antara lain:
1.      Memberikan kehidupan yang lebih baik pada anak-anak.
2.      Membantu setiap anak-anak untuk bertahan dan menjalani kehidupannya
dengan baik.
3.      Member anak-anak kesempatan untuk menuntut ilmu disekolah.
4.      Menciptakan suasana lingkungan yang kondusif bagi anak-anak khususnya korban perang.
Ada 3 hal yang menjadi sasaran UNICEF sebagai sebuah organisasi Internasional antara lain:
1.      Menumbuhkan kepercayaan anak-anak terhadap kepedulian Negara.
2.      Membantu kaum muda untuk membangun sebuah dunia dimana semua anak-anak hidup secara terhormat dan memperoleh keamanan.
3.      Menciptakan dunia yang cocok untuk anak-anak. (Waladeri. 2014: 928-929)
Dalam menanggulangi berbagai kasus pelanggaran HAM di Afrika, seperti yang dilansir di berita internasional Republika pada tanggal 16 April 2013, Sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-Mood menyatakan bahwasannya PBB berjanji akan terus mendukung semua upaya pencegahan konflik, memberantas kemiskinan, menanggulangi tentara anak, diskriminasi, pemerkosaan dan berbagai kasus pelanggaran HAM di Afrika. Selain solusi dari PBB, menurut Stanton (1998; 8) ia mengemukakan tujuh langkah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang ada di Afrika, yaitu:
1.      Klarifikasi: bangsa yang dibagi ke dalam “kita dan mereka”. Tindakan pencegahan utama pada tingkat awal ini adalah mengembangkan lembaga-lembaga yang universalistik yang transendental (to develop universalistic institutions that transcends)
2.      Simbolisasi: ketika dikombinasikan dengan kebencian, simbil-simbol akan dipaksakan atas ketidakmauan anggota-anggota kelompok lain. Untuk melawan atau memberantas simbolisasi, simbol-simbol kebencian dapat dilarang secara hukum (to sombat symbolization, hate symbols can be legally forbidden).  
3.      Organisasi: kejahatan genosida yang terorganisir. Unit-unit tentara khusus atau milisi sering dilatih dan dipersenjatai. Karenanya, anggota-anggota unit atau milisi ini harus dilarang membership in these militian be outlawed)
4.      Polarisasi: kelompok-kelompok yang menyiarkan atau menabur kebencian melalui propaganda. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan keamanan kepada pemimpin mederat atau bantuan bagi kelompok-kelompok HAM (security protection for moderate leaders or assistance to human rights groups).
5.      Identifikasi: korban-korban diidentifikasi dan dipisahkan karena identitas etnik atau afama mereka (victims are identified and saparated our because of their ethnic or religious identity).
6.      Permusuhan: Pada langkah ini: hanya intervensi militer yang cepat dan besar dapat menghentikannya (only rapid and overwhelming armed intervention can stop).
7.      Penyangkalan: pelaku-pelaku menyangkal bahwa mereka telah melakukan kejahatan. Respons bagi penyangkalan adalah penghukuman melalui suatu mahkamah internasional atau nasional (the reponse to denial is punishment by an international tribunal or national court).  
2.5 Dampak Benua Afrika pasca African Union.
Keadaan atau situasi di Afrika yang dapat kita tahu saat ini yang tidak dapat terelakkan lagi bahwa dari segi ekonomi, sosial, budaya, pedidikan dan juga politik negaranya masih belum stabil, sehingga dalam penerapannya hak-hak asasi masih kurang terlaksana, walaupun sudah banyak usaha-usaha yang telah dilakuakan oleh AU tersendiri, dalam hal ini akan dijelaskan bidang-bidang keadaan Afrika pada saat ini, diantaranya :
Dibidang pendidikan,, karena pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara, majunya suatu negara tergantung dari bagaimana kemajuan pendidikan yang ada didalam negara tersebut. Afrika merupakan suatu benua terbesar ketiga setelah Asia dan Amerika didunia, yang mana wilayah ini merupakan wilayah mayoritas ras nya berkulit hitam dan minoritas berkulit putih. Afrika sendiri merupakan wilayah yang saat ini mempunyai pendidikan yang tinggi. Afrika yang berpenduduk mayoritas namun dipimpin oleh minoritas ras kulit putih, hal ini menjadikan suatu diskriminasi sosial, sebagaimana ras kulit hitam tidak diberikan kebebasaan seperti selayaknya manusia, mereka tidak boleh berkumpul, dan tidak diikutkan sertakan untuk menduduki kursi parlemen. Dalam bidang pendidikan pun terjadi perbedaan kesamaan yaitu pemisahan atau diskrimansi antara kulit putih dan hitam ketika itu.
Semasa era Apartheid kulit putih sangat mendominasi kelas-kelas sekolah dibandingkan dengan kulit hitam, namun di era sekarang telah terjadi perubahan dimana kulit hitam diberikan kebebasan dengan tambahan kuota untuk memasuki jenjang-jenajang pendidikan yang sebelumnya hanya dimiliki oleh ras kulit putih. Hal tersebut merupakan contoh yang terjadi di Afrika Selatan yang terjadi diskrimasi semacam itu, namun setelah terpilihnya Presiden Nelson Mandela, sistem pendidikan yang ada disana menjadi sistem pendidikan yang tinggi, terjadi penambahan dan kebebasan bagi kulit putih untuk dapat mengenyam pendidikan di berbagai sekolah maupun Universita-universitas, bahkan untuk biaya belajar di Afrika Selatan terbilang cukup relative mudah dan standard, kemudian biaya akomodasi belajar dan tempat tinggal yang standar pula dan dengan fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan para pelajar, bahkan para pelajar di Afrika Selatan mendapatkan potongan biaya bila mereka berkunjung ketempat-tempat wisata untuk refreshing seperti Bioskop, Teater, Museum, Perpustakaan, bahkan mereka mendapatkan potongan harga jika ingin membeli buku pelajaran yang dibutuhkannya.
 Hal ini semua untuk menopang aktivitas pendidikan untuk para pelajar di kawasan Afrika Selatan. Namun issue yang belakangan ini terdengar di kawasan Afrika adalah bahwa adanya diskriminasi terhadap anak-anak cacat di Afrika Selatan, yang mana mereka tidak diperkenankan untuk masuk mengikuti sekolah utama dan mereka ditolak untuk mendapatkan kesempatan di sekolah itu seperti anak-anak biasa, mereka di asingkan untuk mengikuti kegiatan sekolah di seklolah khusus.
Dalam bidang Politik, Afrika sendiri mengalami distabilitas politik pemerintahan,  keadaan di Afrika telah banyak didominasi oleh pihak luar yang memiliki kepentingan di Afrika. Terjadinya social movement atau kudeta oleh para angkatan militer terhadap pemimpin di Afrika,  terlebih karena Afrika sendiri merupaka negara bekas kolonial, maka tidak heran jika nilia-nilai koloninya masih terdapat dalam negara tersebut.
Ketidakstabilan politik di Afrika menyebabkan kepada kemiskinan rakyat-rakyat di Afrika dan menyebabkan adanya suatu konflik antara masyarakat maupun dengan pihak luar. Seperti yang kita kenal di Afrika terdapat politik Apartheid yakni adanya suatu pemisahan, pemisahan disini yaitu pemisahan antara kulit putih dan kulit hitam, yaitu minoritas kulit hitam di mayoritaskan di Afrika dari pada mayorits kulit hitam yang di minoritaskan. Ini semua berawal dari Belanda (kulit putih) yang datang ke Afrika, dengan kedatangan bangsa Eropa (Belanda) ini ke Afrika menimbulkan masalah, dan masalah kulit ini merupakan pangkal dari pada politik Apartheid ini. Dalam perkembangannaya politik Apartheid ketika partai nasional menguasai Afrika Selatan yang di tangani oleh Inggris dan Belanda, dan sejak itulah pemerintahan Afrika Selatan membentuk perundang-undangan dengan adanya pemisahan golongan secara rasial. Dalam hal ini golongan tersebut terbentuk pada tiga golongan ras, dan minoritas kulit putih menguasai kulit hitam.
Selanjutnya adalah ketika sebelumnya para masyarakat belum mengetahui tentang sistem pemerintahannya, lambat laun mereka mengetahui tentang tujuan tersebut, bahwa adanya suatu diskriminasi soisal yang rasial (membedakan warna kulit) dari sinilah para civitas masyarakat mengadakan suatu perlawanan, namun Pieter Botha menumpas semua perlawanan masyarakat tersebut dan akhirnya banyak para tokoh-tokoh kulit hitam yang menderita, seperti Nelson Mandela yang harus mendekam dipenjara selama 27 tahun. Kini di Afrika Selatan telah berubah dari sebelumnya, yang mana masyarakat sipil memegang peranan penting dalam terlaksananya sistem politik demi tercapainya suatu good governance. Setelah mengalami politik Apartheid, dibawah kepemimpinan Nelson Mandela kini tidak ada lagi perbedaan rasial namun diberlakukannya suatu sistem politik yang menghormati persamaan hak warga negara. Proses pengambilan keputusan yang bukan hanya melibatkan rakyat sipil, namun adanya kebijakan bagi seluruh institusi masyarakat dibolehkan untuk berpartisipasi dalam menyalurkan idenya partisispasinya yang bukan hanya melalaui partai politik dan pada akhirnya organisasi-organisasi inilah yang memprotes jika terjadinya ineffective governance.
Dalam masalah keagamaan, seperti yang telah dilansir beberapa berita, masih terdapat konflik anatara agama di daerah Afrika yang saling berkonflik, paling terlihat adalah agama Islam dan Kristen, dimana agama Islam ditembak hidup-hidup oleh sekawanan orang yang mengenakan pakaian militer dengan membawa senjata api dan menembakkan senjata tersebut dengan pelurunya kepada tawanan muslim dengan secara paksa menggulingkan orang muslim tersebut ketanah.

           
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
            Kedatangan bangsa Belanda di Afrika Selatan memicu munculnya permasalahan baru di kehidupan masyarakat Afrika Selatan, dimana derajat masyarkat Afrika berada di bawah derajat bangsa Belanda (orang kulit putih), pada akhirnya permasalahan kulit putih inilah yang menjadi dasar fundamental munculnya masalah Apartheid. Hal inilah yang menjadikan Benua Afrika terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
            Organization of African Unity yang berevolusi menjadi African Union ini menjadi badan dari organisasi di Benua Afrika, hal inilah yang menjadi wadah untuk persatuan dan solidaritas negara-negara di Afrika berusaha dan mengkordinasi kerjasama dan berusaha mencapai kehidupan yang lebih baik untuk Masyarakat di Afrika; keamanan kedaulatan dan integritas teritorial masyarakat negara; menyingkirkan Kolonialisme dan Apartheid; membawa kerjasama Internasional dengan kerangka PBB; dan menyelaraskan anggota  politik, diplomasi, ekonomi, pendidikan, budaya, kesehatan, kesejahteraan, keilmuan, teknologi dan kebijakan pertahanan.
Dengan didirikannya AU maka perlindungan hak-hak asasi semakin berkembang di Afrika dan dengan melewati konsensus-konsensus yang panjang sejak awal 1981, nilai-nilai kemanusiaan untuk melawan kolonialisme dapat terbentuk sesuai dengan ekspetasinya. Akhirnya, peresmian African Charter (banjul charter) di Afrika telah berlaku mulai tahun 1987 dan menjadi landasan nilai-nilai kemanusiaan rakyat Afrika. Piagam ini menjadi instrumen bagi sistem-sistem yang diterapkan oleh negara-negara Afrika dalam menjaga dan melindungi moral.
            Keadaan atau situasi di Afrika yang dapat kita tahu saat ini yang tidak dapat terelakkan lagi bahwa dari segi ekonomi, sosial, budaya, pedidikan dan juga politik negaranya masih belum stabil, sehingga dalam penerapannya hak-hak asasi masih kurang terlaksana, walaupun sudah banyak usaha-usaha yang telah dilakuakan oleh AU tersendiri, dalam hal ini akan dijelaskan bidang-bidang keadaan Afrika pada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Book.
African (Banjul) Charter On Human And Peoples' Rights. (Adopted 27 June1981, OAU Doc.
 CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (1982), entered into force 21
 October 1986).
Effendi, A. Masyhur dan Taufani S. Evandr. (2005). HAM Dalam Dinamika/ Dimensi Hukum,
 Politik, Ekonomi dan Sosial. Ghalia Indonesia. Bogor.
Gregory Stanton.(1998). The Seven Stages of Genocide, Washington, D.C.
Smith, Rhona K. (2005). Text-book on “International Human Rights”. Oxford University
 Express, New York.
Waladeri, Lista.  (2014). Peran UNICEF Dalam Mengatasi Permasalahan Milisi
Anak di Republik Afrika Tengah. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional fisip-Unmul.
Vol: 2. No: 4.
E-Source.
African Union. (2016). History of the OAU and AU. Diakses pada 20 Maret 2016. Dengan
Institute for Security Studies. (2016) Africa Union. Diakses pada 20 Maret 2016. Dengan alamat
Mardiani, Dewi. (2013). Perhatian Penyebab Konflik di Afrika. Selasa, 16 April 2013, 22.10 wib diakses pada website http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/16/mlcssz-pbb-perhatikan-penyebab-konflik-di-afrika. Diakses pada 20 Maret 2016, 23.18.

1 komentar: