BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu di dikumandangkan
di setiap negara memiliki sejarah yang sangat panjang. Salah satu jenis dari
pondasi HAM adalah Magna Charta dalam bahasa Latin yang dapat diartikan dengan
“Piagam Besar”. Magna Charta adalah piagam yang dicetuskan di Inggris pada
tanggal 15 Juni 1215, piagam ini diadakan untuk membatasi monarki raja Inggris
yang sewenang-wenang dalam memerintah. Inggris pada saat itu dipimpin oleh Raja
John yang sangat absolut. Ketika itu Raja John dipaksa untuk menandatangani
piagam tersebut dan menghargai beberapa prosedur legal serta bertujuan untuk
membatasi semua keinginan raja dengan sebuah hukum.
Raja John yang memerintah pada tahun 1100-1216 bertatap muka dengan
para penentangnya, yaitu para baron, para pemilik tanah yang sangat berpengaruh
pada kerajaan yang pada saat itu dikecewakan dengan tindakan raja yang
sewenang-wenang. Para baron tersebut menuntut agar raja mampu mengobati luka
dihati mereka dengan memberikan hak-hak tertentu yang harus ditaati.
Dari peristiwa ini maka terjadilah kesepakatan bersama yang disebut
dengan Magna Charta. Kemudian timbullah pertanyaan dari berbagai aspek, siapa
sajakah yang memberontak dan menentang raja ketika itu? kenapa mereka
memberontak kepada raja mereka sendiri? kapan dan dimana peristiwa tersebut
terjadi? bagaimana hasil dari kesepakatan dalam piagam tersebut? Hal-hal
tersebut akan diterangkan secara padat dan singkat di dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Asal Usul dari Magna Charta?
2.
Kapan,
Dimana, terjadinya peristiwa tersebut?
3.
Apa
Hasil Dari Magna Charta?
4.
Kenapa
Magna Charta Dijadikan Rujukan Hak Asasi Manusia Pada Saat Ini?
BAB I
PEMBAHASAN
1.
Asal Usul dari Magna Charta
Di Eropa pemikiran mengenai Hak Asasi berawal dari abad ke-17
dengan timbulnya konsep Hukum Alam serta hak-hak alam. Akan tetapi, Sebenarnya
bebarapa abad sebelumnya, yaitu pada Zaman Pertengahan masalah manusia sudah
mulai mencuat di Inggris.
Pada tanggal 15 Juni 1215 di Sungai Rhames, Runnymede, Surrey, ditandatangani
suatu perjanjian yang disebut dengan “Magna Charta” antara Raja John
dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa mengakui bebarapa hak
dari para bangsawan sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Hak yang dijamin mencakup hak
politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas
corpus). Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk bangsawan, hak-hak itu
kemudian menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris yang berlaku bagi
semua warga negara. Sampai sekarang, Magna Charta masih dianggap sebagai
tonggak sejarah dalam perkembangan ham di Barat. (Budiarjo. 2014; 213)
Piagam ini merupakan jalan keluar dari perselisihan antara Paus,
Raja John dan para Baron atas hak-hak raja. Nigel Saul profesor sejarah abad
pertengahan di University of London mengatakan, “Magna Charta diawali dai
pemberontakan para baron atas pajak yang penuh dengan jargon feodalisme dan
berlangsung hanya berlaku sampai September 1215, ketika surat dari Paus tiba
untuk melepaskan John dari sumpahnya dan menjerumuskan Inggris kembali ke
perang saudara”. (Republika. 2015)
Awalnya, Magna Charta
dikenal sebagai “piagam kebebasan” atau “piagam Runnymede”. Diperoleh nama yang
lebih lazim di tahun 1217 ketika mereka mencabut klausul rimbawan dari piagam
itu, klausul rimbawan tersebut ditempatkan dalam dokumen terpisah yang disebut
“piagam hutan”. Jadi, untuk membedakannya, “piagam kebebasan” disebut “piagam
besar”, dalam bahasa latin bernama Magna Carta.
Magna Charta menggunakan bahasa Latin, kemudian berhasil
diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa Perancis. Karena bahasa Perancis
merupakan bahasa internasional ksatria, kaum bangsawan, para baron dan kelas
penguasa pada saat itu. Terjemahan pertama piagam tersebut didistribusikan ke
uskup dan orang-orang penting di Hampshire, Inggris. Pada tahun 1534 atau tiga
abad kemudian Magna Charta berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
2.
Peristiwa Magna Charta
Raja John pada tanggal 6 April 1199 naik tahta sebagai seorang raja
sampai kematiannya. Ia menjadi penguasa ketika itu karena sebagai adik dari
Raja Richard (Richard si Hati Singa atau The Lion Heart). Raja John
mendapat panggilan Lackland (“Sans Terre” bahasa Perancis, “Ohne
Land” dalam bahasa Jerman yang berarti “Pedang Yang Halus”). Pemerintahan
pada masa kekuasaannya merupakan pemerintahan yang paling kelam dalam sejarah
Inggris. Dimulai dari kekalahan-kekalahan perang, sifatnya yang suka berselingkuh, kehilangan
Normandia yang direbut oleh Raja
Philippe dari Perancis di lima tahun pertema kepemimpinannya. (Lewis. 2012. 43)
Pada tahun 1213, Raja john membuat Inggris harus berurusan dengan
Paus ketika berkonflik dengan gereja Katholik Roma. Ia menentang kekuasaan Paus
II dan menolak mengakui Stephen Langton sebagai Uskup Agung Canterbury.
Penentangan Raja John membuat gereja menarik dukungannya dan mengucilkan sang
raja. Melihat kejadian tersebut, Raja John mengupayakan rekonsiliasi, Ia setuju
menyerahkan kerajaannya, Inggris dan Irlandia kepada Sri Paus. Selanjutnya, Sri
Paus mengembalikan kekuasaanya kembali atas dasar pernyataan raja untuk taat
dan patuh kepada gereja dan bersedia membayar upeti setiap tahun. Peristiwa
tersebut menandakan bahwa Raja John merupakan bawahan Sri Paus.
Raja John harus membayar upeti setiap tahunnya, selama 17 tahun
masa pemerintahannya, John mengambil inisiasi untuk menggunakan pajak ekstra
kepada para pemilik tanah sebanyak 11 kali. Perselisihannya dengan gereja dan
masalah financial yang tinggi tersebut membuat masyarakat beranggapan bahwa
sang raja tidak dapat dipercaya lagi. Akhirnya terjadilah pergolakan yang besar
ketika para baron (para pemilik tanah) dari bagian utara negeri itu tidak mau
lagi membayar pajak. Mereka beranggapan, bahwa peraturan-peraturan yang dibuat
Raja John tidak lebih baik dari pada Raja Rchard I dan raja Hendri. Para baron
berbaris menuju london dan menyangkal keseteiaan mereka kepada raja. Tepatnya di
kota Runnymede, pada hari Senin, 15 Juni 1215, para baron bertemu dengan raja
dan memaksanya untuk menandatangani Magna Charta. Menurut Robin Griffnith Jones
(Jones. 2015; 8) menyatakan,
“There was already a plot against the King in 1212. The northern barons
in particular had no stake in Normandy and were deeply – and resentfully – in
debt to the King. The King submitted to the Pope in summer 1213 and Stephen
Langton returned to England as Archbishop of Canterbury. The King promised to
love and maintain the Church, recall the good laws of his ancestors and judge
all men in accordance with the just decisions of his court. Next came a decree
from the King that the laws of his revered great-grandfather Henry I should be
observed. John was making himself, even in defeat, a statesman. The practice
did not match the promise. By the end of 1214 King John was faced with a
co-ordinated demand for those laws of Henry I. After a hurried Christmas at of
barons, armed and ready for war, required of the King that he make good his
recent undertakings. These barons were by now specifying particular, practical
measures, and wanted the King to confirm them in an enforceable charter. They had
one precedent: the Crusades, campaigns fought for a principle, not for a king.”
3.
Hasil Dari Magna Charta

Dalam butir-butir pasal lain menyebutkan bahwa penguasa tidak boleh
menggunakan para sheriff atau polisi daerah untuk mengambil kuda-kuda,
gerobak yang dimiliki para baron. Apabila para baron meninggal tanpa
meninggalkan wasiat apapun, maka semua barang yang dimilikinya di distribusikan
kepada keluarga dan teman-teman dekatnya dibawah pengawasan gereja. Mengenai
kepemilikan tanah, tambak, lahan, pabrik semuanya dikembalikan kepada ahli
warsinya.
Inti dari isi Magna Charta menjelaskan bahwa Raja harus berjanji
untuk menghormati hak-hak penduduk, menghormati kemerdekaan, dan kebebasan
gereja. Para petugas keamanan atau para sheriff harus menghormati hak-hak penduduk. Sheriff
ataupun jaksa tidak dapat menuntut siapapun tanpa adanya bukti dan saksi
yang sah. Kepemilikan atas tanah, barang dan sebagainya dijunjung tinggi dan
dihormati. Kekuasaan raja tidak boleh sewenang-wenang dan harus dibatasi dengan
hukum. Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting dari pada kedaulatan hukum, atau
ke absolutan sang raja. Dari sinilah Magna Charta dianggap sebagai lambang
perjuangan Hak-Hak Asasi Manusia dan dianggap sebagai pondasi perjuangan
atas lahirnya Hak Asasi Manusia.
4.
Magna Charta Dijadikan Rujukan Hak Asasi Manusia
Diskusi internasional di PBB mengenai Hak Asasi Manusia telah
menghasilkan bebarapa piagam penting antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948), du perjajian yaitu kovenen Internasional Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya (1966), dan berikutnya Deklarasi Wina (1993). Deklarasi Wina
Mencerminkan tercapainya konsensus antara negara-negara barat dan non-barat
bahwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dapat terjadi
perbedaan dalam implementasinya, sesuai keadaan khas masing-masing negara.
Dewasa ini, kita membedakan tiga generasi hak asasi. Generasi
Pertama adalah hak sipil dan politik yang sudah lama dikenal dan selalu
diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara barat. Generasi Kedua adalah
hak ekonomi, sosial, dan budaya yang gigih diperjuangkan oleh negara-negara
komunis yang dalam masa Perang Dingin (1945-1970-an) sering dinamakan Dunia
Kedua. Kemudian hak ini didukung oleh negara-negara yang baru membebaskan diri
dari penjajahan kolonial, dan sering disebut dengan Dunia Ketiga. Generasi
Ketiga adalah hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan (development), yang
terutama diperjuangkan oleh negara-negara Dunia Ketiga.
Magna Charta menjadi tonggak sejarah pertama yang mendeklarasikan
dan menjunjung tinggi hak-hak seluruh manusia. Kemudian konsep yang ada di
Magna Charta diadopsi dan diperbaharui oleh John Locke pada abad ke-17, yang
merumuskan beberapa hak alam (natural rights) yang dimiliki manusia secara
alamiah. Konsep ini bangkit kembali setelah Perang Dunia II dengan
dicanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights, 1948) oleh negara-negara yang bergabung dalam PBB.
(Budiardjo. 2014. 212)
Pada masa berikutnya, di beberapa belahan dunia seperti Afrika, dan
Asia timbul bebarapa piagam regional seperti misalnya, Piagam Afrika mengenai
Hak Manusia dan Bangsa-Bangsa (African Charter on Human Rights and Peoples’
Rights, 1981). Dalam dasawarsa 90-an disusul dengan Deklarasi Cairo
mengenakan Hak Asasi dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in
Islam, 1990), yang merupakan hasil diskusi Organisasi Konferensi Islam (OKI),
dan Bangkok Declaration, hasil dari Regional Meeting for Asia of the
World Conference on Human Rights, April 1993.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Magna Charta adalah sebuah perjanjian yang mengikat antara raja
John yang berkuasa dengan para baron (pemilik tanah). Sifat Raja John yang
sangat absolut dan sewena-wena dalam memerintah, kekalahan-kekalahan di medan
perang dan tingginya pungutan pajak hingga 11 kali dalam setahun, membuat para
baron memberontak dan menentang raja. Raja John juga tidak mau tunduk kepada
gereja dan menolak mengakui Stephen Langton sebagai Uskup Agung Canterbury.
Namun, pada akhirnya ia tunduk dan menyerahkan kerajaan, Inggris dibawah Sri
Paus dengan berkonsiliasi membayar upeti setiap tahunnya.
Pemberontakan yang tak terelakkan terjadi pada 15 Juni 1215 di
Sungai Thames, runnymade, Surrey. Akhirnya bertemulah para baron sang penentang
dengan Raja john dan membuat kesepakatan. Terdapat 49 butir pasal dan
berkembang menjadi 63 butir pasal dan dilakukan penetapan ulang pada tahun
1217.
Magna Charta dianggap sebagai dokumen pendirian Hak Asasi di
Inggris, sehingga dapat kita simpulkan bahwa Magna Charta memiliki pengarauh
yang sangat besar bagi negara-negara di dunia yang telah mendeklarasikan Hak
Asasi Manusia. Sampai saat ini Magna Charta dianggap sebagai landasan dasar
terbentuknya Hak Asasi Manusia pertama kali di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo. Miriam. (2014). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan
ke-10. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jones. Robin griffith. (2015). Magna Charta 1215-2015. London
Temple and The Road to The Rule of Law. The Temple Church. United Kingdom.
Lewis. Brenda Ralph. (2012). Sejarah Gelap Raja dan Ratu Inggris
dari 1066 Hingga Saat Ini. Diterjemahkan oleh; A. Reni Eta Sitepeo. Gramedia.
Jakarta
Stone. Danny. The Magna Charta (The Great Charter).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar