Senin, 14 Maret 2016

MAGNA CHARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu di dikumandangkan di setiap negara memiliki sejarah yang sangat panjang. Salah satu jenis dari pondasi HAM adalah Magna Charta dalam bahasa Latin yang dapat diartikan dengan “Piagam Besar”. Magna Charta adalah piagam yang dicetuskan di Inggris pada tanggal 15 Juni 1215, piagam ini diadakan untuk membatasi monarki raja Inggris yang sewenang-wenang dalam memerintah. Inggris pada saat itu dipimpin oleh Raja John yang sangat absolut. Ketika itu Raja John dipaksa untuk menandatangani piagam tersebut dan menghargai beberapa prosedur legal serta bertujuan untuk membatasi semua keinginan raja dengan sebuah hukum.
Raja John yang memerintah pada tahun 1100-1216 bertatap muka dengan para penentangnya, yaitu para baron, para pemilik tanah yang sangat berpengaruh pada kerajaan yang pada saat itu dikecewakan dengan tindakan raja yang sewenang-wenang. Para baron tersebut menuntut agar raja mampu mengobati luka dihati mereka dengan memberikan hak-hak tertentu yang harus ditaati.
Dari peristiwa ini maka terjadilah kesepakatan bersama yang disebut dengan Magna Charta. Kemudian timbullah pertanyaan dari berbagai aspek, siapa sajakah yang memberontak dan menentang raja ketika itu? kenapa mereka memberontak kepada raja mereka sendiri? kapan dan dimana peristiwa tersebut terjadi? bagaimana hasil dari kesepakatan dalam piagam tersebut? Hal-hal tersebut akan diterangkan secara padat dan singkat di dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Asal Usul dari Magna Charta?
2.      Kapan, Dimana, terjadinya peristiwa tersebut?
3.      Apa Hasil Dari Magna Charta?
4.      Kenapa Magna Charta Dijadikan Rujukan Hak Asasi Manusia Pada Saat Ini?



BAB I
PEMBAHASAN
1.      Asal Usul dari Magna Charta
Di Eropa pemikiran mengenai Hak Asasi berawal dari abad ke-17 dengan timbulnya konsep Hukum Alam serta hak-hak alam. Akan tetapi, Sebenarnya bebarapa abad sebelumnya, yaitu pada Zaman Pertengahan masalah manusia sudah mulai mencuat di Inggris.
Pada tanggal 15 Juni 1215 di Sungai Rhames, Runnymede, Surrey, ditandatangani suatu perjanjian yang disebut dengan “Magna Charta” antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa mengakui bebarapa hak dari para bangsawan sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas corpus). Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris yang berlaku bagi semua warga negara. Sampai sekarang, Magna Charta masih dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perkembangan ham di Barat. (Budiarjo. 2014; 213)
Piagam ini merupakan jalan keluar dari perselisihan antara Paus, Raja John dan para Baron atas hak-hak raja. Nigel Saul profesor sejarah abad pertengahan di University of London mengatakan, “Magna Charta diawali dai pemberontakan para baron atas pajak yang penuh dengan jargon feodalisme dan berlangsung hanya berlaku sampai September 1215, ketika surat dari Paus tiba untuk melepaskan John dari sumpahnya dan menjerumuskan Inggris kembali ke perang saudara”. (Republika. 2015)
 Awalnya, Magna Charta dikenal sebagai “piagam kebebasan” atau “piagam Runnymede”. Diperoleh nama yang lebih lazim di tahun 1217 ketika mereka mencabut klausul rimbawan dari piagam itu, klausul rimbawan tersebut ditempatkan dalam dokumen terpisah yang disebut “piagam hutan”. Jadi, untuk membedakannya, “piagam kebebasan” disebut “piagam besar”, dalam bahasa latin bernama Magna Carta.
Magna Charta menggunakan bahasa Latin, kemudian berhasil diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa Perancis. Karena bahasa Perancis merupakan bahasa internasional ksatria, kaum bangsawan, para baron dan kelas penguasa pada saat itu. Terjemahan pertama piagam tersebut didistribusikan ke uskup dan orang-orang penting di Hampshire, Inggris. Pada tahun 1534 atau tiga abad kemudian Magna Charta berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
2.      Peristiwa Magna Charta
Raja John pada tanggal 6 April 1199 naik tahta sebagai seorang raja sampai kematiannya. Ia menjadi penguasa ketika itu karena sebagai adik dari Raja Richard (Richard si Hati Singa atau The Lion Heart). Raja John mendapat panggilan Lackland (“Sans Terre” bahasa Perancis, “Ohne Land” dalam bahasa Jerman yang berarti “Pedang Yang Halus”). Pemerintahan pada masa kekuasaannya merupakan pemerintahan yang paling kelam dalam sejarah Inggris. Dimulai dari kekalahan-kekalahan perang,  sifatnya yang suka berselingkuh, kehilangan Normandia yang direbut oleh Raja  Philippe dari Perancis di lima tahun pertema  kepemimpinannya. (Lewis. 2012. 43)
Pada tahun 1213, Raja john membuat Inggris harus berurusan dengan Paus ketika berkonflik dengan gereja Katholik Roma. Ia menentang kekuasaan Paus II dan menolak mengakui Stephen Langton sebagai Uskup Agung Canterbury. Penentangan Raja John membuat gereja menarik dukungannya dan mengucilkan sang raja. Melihat kejadian tersebut, Raja John mengupayakan rekonsiliasi, Ia setuju menyerahkan kerajaannya, Inggris dan Irlandia kepada Sri Paus. Selanjutnya, Sri Paus mengembalikan kekuasaanya kembali atas dasar pernyataan raja untuk taat dan patuh kepada gereja dan bersedia membayar upeti setiap tahun. Peristiwa tersebut menandakan bahwa Raja John merupakan bawahan Sri Paus.
Raja John harus membayar upeti setiap tahunnya, selama 17 tahun masa pemerintahannya, John mengambil inisiasi untuk menggunakan pajak ekstra kepada para pemilik tanah sebanyak 11 kali. Perselisihannya dengan gereja dan masalah financial yang tinggi tersebut membuat masyarakat beranggapan bahwa sang raja tidak dapat dipercaya lagi. Akhirnya terjadilah pergolakan yang besar ketika para baron (para pemilik tanah) dari bagian utara negeri itu tidak mau lagi membayar pajak. Mereka beranggapan, bahwa peraturan-peraturan yang dibuat Raja John tidak lebih baik dari pada Raja Rchard I dan raja Hendri. Para baron berbaris menuju london dan menyangkal keseteiaan mereka kepada raja. Tepatnya di kota Runnymede, pada hari Senin, 15 Juni 1215, para baron bertemu dengan raja dan memaksanya untuk menandatangani Magna Charta. Menurut Robin Griffnith Jones (Jones. 2015; 8) menyatakan,
“There was already a plot against the King in 1212. The northern barons in particular had no stake in Normandy and were deeply – and resentfully – in debt to the King. The King submitted to the Pope in summer 1213 and Stephen Langton returned to England as Archbishop of Canterbury. The King promised to love and maintain the Church, recall the good laws of his ancestors and judge all men in accordance with the just decisions of his court. Next came a decree from the King that the laws of his revered great-grandfather Henry I should be observed. John was making himself, even in defeat, a statesman. The practice did not match the promise. By the end of 1214 King John was faced with a co-ordinated demand for those laws of Henry I. After a hurried Christmas at of barons, armed and ready for war, required of the King that he make good his recent undertakings. These barons were by now specifying particular, practical measures, and wanted the King to confirm them in an enforceable charter. They had one precedent: the Crusades, campaigns fought for a principle, not for a king.”
3.      Hasil Dari Magna Charta
Raja John menyiapkan sebuah dokumen yang berisi 49 tuntutan, Selama beberapa hari selanjutnya, kesepakatan tersebut berkembang menjadi 63 butir dan ditetapkan kembali pada 1217. Sang Raja memateraikan butir-butir dokumen tersebut dan dikenal dengan Magna Charta. Keenam puluh tiga burit tersebut dibagi menjadi sembilan kelompok, diantara butir-butir dokumen tersebut berisikan kekesalan-kekesalan para baron di Utara, reformasi hukum dan keadilan, serta kemerdekaan dari gereja, Butir ke-39 berisikan dasar historis bagi kemerdekaan rakyat sipil Inggris, yang berbunyi “Tidak satu pun orang merdeka yang boleh ditangkap atau di penjarakan, atau dilucuti hak-haknya atau hartanya, atau dicabut hak hukumnya atau dibuang, atau diambil dari statusnya dengan cara apa pun, Raja tidak akan bertindak memaksa terhadap rakyat sipil, atau mengirim orang lain untuk melakukan kehendak raja secara semena-mena, kecuali melalui penghakiman yang berdasarkan hukum negeri tersebut.”
Dalam butir-butir pasal lain menyebutkan bahwa penguasa tidak boleh menggunakan para sheriff atau polisi daerah untuk mengambil kuda-kuda, gerobak yang dimiliki para baron. Apabila para baron meninggal tanpa meninggalkan wasiat apapun, maka semua barang yang dimilikinya di distribusikan kepada keluarga dan teman-teman dekatnya dibawah pengawasan gereja. Mengenai kepemilikan tanah, tambak, lahan, pabrik semuanya dikembalikan kepada ahli warsinya.
Inti dari isi Magna Charta menjelaskan bahwa Raja harus berjanji untuk menghormati hak-hak penduduk, menghormati kemerdekaan, dan kebebasan gereja. Para petugas keamanan atau para sheriff  harus menghormati hak-hak penduduk. Sheriff ataupun jaksa tidak dapat menuntut siapapun tanpa adanya bukti dan saksi yang sah. Kepemilikan atas tanah, barang dan sebagainya dijunjung tinggi dan dihormati. Kekuasaan raja tidak boleh sewenang-wenang dan harus dibatasi dengan hukum. Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting dari pada kedaulatan hukum, atau ke absolutan sang raja. Dari sinilah Magna Charta dianggap sebagai lambang perjuangan Hak-Hak Asasi Manusia dan dianggap sebagai pondasi perjuangan atas lahirnya Hak Asasi Manusia.   
4.      Magna Charta Dijadikan Rujukan Hak Asasi Manusia
Diskusi internasional di PBB mengenai Hak Asasi Manusia telah menghasilkan bebarapa piagam penting antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), du perjajian yaitu kovenen Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (1966), dan berikutnya Deklarasi Wina (1993). Deklarasi Wina Mencerminkan tercapainya konsensus antara negara-negara barat dan non-barat bahwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dapat terjadi perbedaan dalam implementasinya, sesuai keadaan khas masing-masing negara.
Dewasa ini, kita membedakan tiga generasi hak asasi. Generasi Pertama adalah hak sipil dan politik yang sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara barat. Generasi Kedua adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya yang gigih diperjuangkan oleh negara-negara komunis yang dalam masa Perang Dingin (1945-1970-an) sering dinamakan Dunia Kedua. Kemudian hak ini didukung oleh negara-negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan kolonial, dan sering disebut dengan Dunia Ketiga. Generasi Ketiga adalah hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan (development), yang terutama diperjuangkan oleh negara-negara Dunia Ketiga.  
Magna Charta menjadi tonggak sejarah pertama yang mendeklarasikan dan menjunjung tinggi hak-hak seluruh manusia. Kemudian konsep yang ada di Magna Charta diadopsi dan diperbaharui oleh John Locke pada abad ke-17, yang merumuskan beberapa hak alam (natural rights) yang dimiliki manusia secara alamiah. Konsep ini bangkit kembali setelah Perang Dunia II dengan dicanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights, 1948) oleh negara-negara yang bergabung dalam PBB. (Budiardjo. 2014. 212)
Pada masa berikutnya, di beberapa belahan dunia seperti Afrika, dan Asia timbul bebarapa piagam regional seperti misalnya, Piagam Afrika mengenai Hak Manusia dan Bangsa-Bangsa (African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights, 1981). Dalam dasawarsa 90-an disusul dengan Deklarasi Cairo mengenakan Hak Asasi dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam, 1990), yang merupakan hasil diskusi Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Bangkok Declaration, hasil dari Regional Meeting for Asia of the World Conference on Human Rights, April 1993.
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Magna Charta adalah sebuah perjanjian yang mengikat antara raja John yang berkuasa dengan para baron (pemilik tanah). Sifat Raja John yang sangat absolut dan sewena-wena dalam memerintah, kekalahan-kekalahan di medan perang dan tingginya pungutan pajak hingga 11 kali dalam setahun, membuat para baron memberontak dan menentang raja. Raja John juga tidak mau tunduk kepada gereja dan menolak mengakui Stephen Langton sebagai Uskup Agung Canterbury. Namun, pada akhirnya ia tunduk dan menyerahkan kerajaan, Inggris dibawah Sri Paus dengan berkonsiliasi membayar upeti setiap tahunnya.
Pemberontakan yang tak terelakkan terjadi pada 15 Juni 1215 di Sungai Thames, runnymade, Surrey. Akhirnya bertemulah para baron sang penentang dengan Raja john dan membuat kesepakatan. Terdapat 49 butir pasal dan berkembang menjadi 63 butir pasal dan dilakukan penetapan ulang pada tahun 1217.
Magna Charta dianggap sebagai dokumen pendirian Hak Asasi di Inggris, sehingga dapat kita simpulkan bahwa Magna Charta memiliki pengarauh yang sangat besar bagi negara-negara di dunia yang telah mendeklarasikan Hak Asasi Manusia. Sampai saat ini Magna Charta dianggap sebagai landasan dasar terbentuknya Hak Asasi Manusia pertama kali di dunia.




 
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo. Miriam. (2014). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan ke-10. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jones. Robin griffith. (2015). Magna Charta 1215-2015. London Temple and The Road to The Rule of Law. The Temple Church. United Kingdom.
Lewis. Brenda Ralph. (2012). Sejarah Gelap Raja dan Ratu Inggris dari 1066 Hingga Saat Ini. Diterjemahkan oleh; A. Reni Eta Sitepeo. Gramedia. Jakarta
Stone. Danny. The Magna Charta (The Great Charter).










Tidak ada komentar:

Posting Komentar