1.
Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri
Kata “diplomasi” diyakini berasal dari kata Yunani “diploun” yang
berarti “melipat” Menurut Nicholson, “Pada masa Kekaisaran Romawi semua paspor
yang melewati jalan milik negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan
logam dobel, dilipat dan dijahir jadi satu dalam cara yang khas. Surat jalan
logam ini disebut “diplomas”. Selanjutnya kata ini berkembang mencakup pula
dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang memberikan hak istimewa
tertentu atau menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing di luar bangsa
Romawi. Karena perjanjian-perjanjian ini semakin bertumpuk, arsip kekaisaran
menjadibeban dengan dokumen-dokumen kecil yang tak terhitung jumlahnya yang
dilipat dan diberikan dalam cara khusus. Oleh karena itu dirasa perlu untuk
mempekerjakan seseorang yang terlatih untuk mengindeks, menguraikan dan
memeliharanya. Isi surat resmi negara yang dikumpulkan disimpan di arsip yang
berhubungan dengan hubungan internasional, dikenal pada Zaman Pertengahan
sebagai diplomaticus atau diplomatique. Siapa pun yang berhubungan dengan
surat-surat tersebut dikatakan sebagai milik res diplomtaque atau bisnis
diplomatic. (Roy. 1991: 1)
Dari peristiwa diatas lama kelamaan kata “diplomasi” menjadi dihubungkan
dengan manjemen hubungan internasional, dan siapapun yang ikut mengaturnya
dianggap sebagai diplomat. Menurut The Oxford English Dictionary (Roy.
1991: 2) memberi konotasi sebagai berikut: “Manajemen hubungan internasional
melalui negosiasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta
besar dan para wakil; bisnis atau seni para diplomat”. Menurut The
Chamber’s Twentieth Century dictionary, diplomasi adalah “the art of
negotiation, especially of treaties between states; political skill.”
Pada hakikatnya, sebelum statemen diplomasi itu muncul dan di
jadikan istilah oleh orang-orang barat dalam kebijakan luar negeri negaranya.
Islam telah memakai sistem tersebut sejak abad ke-7 Masehi. Prinsip politik
luar negeri Islam adalah mendakwah dan menyebar luaskan ajaran agama Islam ke
seluruh penjuru dunia. Seperti yang telah difirmankan Allah SWT di dalam
Al-Qur’an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا
وَنَذِيرًا
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat
manusia, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan” (QS Saba’ [34]: 28)
Inilah prinsip kebijakan luar negeri yang dipakai oleh Rasullallah
adalah untuk mengemban risalah dakwah dan menyebar luaskan Islam ke seluruh
pelosok negeri. Metode yang digunakan dalam menyebar luaskan Islam adalah
dengan berjihad menggirimkan surat-surat diplomasi agar penguasa dan raja-raja
kafir memeluk agama Islam. Korespondensi tersebut ditujukan kepada Heraclius
(Kaisar Romawi), Raja Negus (Penguasa Ethiopia), dan Khusrau (Penguasa Persia).
Surat-surat tersebut adalah diplomasi sekaligus kebijakan luar negeri yang
diajarkan dan dipakai oleh Rasullallah dalam menyebar luaskan ajaran agama
Islam.
Risalah dakwah bukan
hanya ditujukan ketiga raja-raja besar penguasa jazirah Arab ketika itu saja, melainkan
Rasul juga mengirim surat ke Kisra, Muqauqis, Harits Al-Ghassani (Raja Hira),
Harits Al-Himyari (Raja Yaman), dan kepada Najasi, dan penguasa Abesinia
(Ethiopia). Adapun surat untuk Heraclius dibawa oleh “Dihyah bin Khalifah
al-Kalbi”, Kepada Kisra dibawa oleh “Salim bin Amr”, dan surat kepad Najasyi
dibawa oleh “Amr bin Umayyah” serta surat kepada Muqauqis oleh “Hatib bin Abi
Balta’ah”. Sementara itu, surat kepada penguasa Oman dibawa oleh Amr bin Ash,
surat kepada penguasa Yaman oleh Salit bin Amr, dan surat kepada Raja bahrain
oleh al-‘Ala bin Al-Hadzrami, sedangkan Harits al-Ghassani, Raja Syam, dibawa
oleh Syuja’ bin Wahab, dan surat kepada Harits Al-Himyari, Raja Yaman dibawa
oleh Muhajir bin Umayyah.
Surat-surat dan
mendatangkan utusan kepada kerajaan-kerajaan dan penguasa-penguasa pada saat
itu, adalah sebuah diplomasi serta kebijakan luar negeri Islam yang diterapkan
oleh Rasullallah. Jadi Islam telah mengetahui sekaligus melakukan diplomasi
kepada negara-negara non-muslim dan mengajak mereka agar memeluk Islam. Dan
semua diplomasi tersebut ada yang diterima dan ada yang ditolak dengan baik
maupun secara kasar.
2.
Konsep Syuro
Bermusyawarah, bermufakat, dan berbincang bersama-sama memilih mana
yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat, itulah pokok sejati ketika
mendirikan pemerintahan Islam. tentang bagaimana susunan teknik musyawarah,
tidaklah lagi dimasukkan oleh yang mendirikan syari’at, yaitu Nabi Muhammad
saw. Tekniknya terserah kepada kebijaksanaan mereka sendiri. Di sinilah
terpasangnya hadits, “Antum a’lam bi umuri dunyakum”, kamu lebih tahu
akan urusan duniamu.
Daulat yang sejati ada di tangan Allah dan diserahkan daulat itu
kepada mereka yang berhak memilih bentuk pemerintahan menurut keputusan
bermusyawarah. Suara yang terbanyak di dalam suatu permusyawarahan itulah yang
terbaik dan harus di jalankan. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an:
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar. tentulah
mereka menjauh diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan
mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal,” (Al-Imran: 159)
Dalam musyawarah, yang terkecil jumlah suaranya haruslah tunduk
kepada suara yang terbanyak. Sebab hukum duniawi atau hukum politik tidaklah
hitungan dua atau ditambah dua sama dengan empat. Segala perkara akan dilihat
oleh manusia dari seginya masing-masing. yang semata-mata bik, dengan hitungan
mutlak (Absolut) tidaklah akan bertemu. Yang akan bertemu hanyalah menghitung mafsadah
dan maslahah. Mana yang banyak maslahatnya dan sedikit mafsadatnya,
menurut hukum suara terbanyak, itulah yang dijalankan setelah putus dan
mendapat kepastian serta hendaklah menjalankan dan bertawakkal kepada Allah.
Jika muncul suatu persoalan, para sahabat melihat bagaimana cara
Nabi memutuskan. Jika diperoleh, lalu bermusyawarah. Setelah Abu Bakar
Meninggal, Umar pun berbuat hal yang sama. Dilihatnya terlebih dahulu cara Nabi
menghukumkan dan kalau tidak ada, dilihat bagaimana cara Abu Bakar memutuskan.
Di zaman Abu Bakar terkumpulah kita Suci Al-Qur’an yang dahulu
belum pernah dikumpulkan menjadi satu. Ketika musyawarah, ada di kalangan
sahabat yang berpendapat bahwa mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab (mushaf)
adalah bid’ah. Bahkan Umar mulanya berpendapat begitu. Namun setelah bermusyawarah
bersama akhirnya umat Islam memutuskan bersama-sama untuk mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Jiwa pemerintahan Islam jelas dan nyata dalam pidato Abu Bakar
ketika diangkat menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad saw wafat.
“Kalian mengangkat saya menjadi kepala pemerintahan. Tetapi
tidaklah saya lebih baik dari pada kalian. Jika saya menjalankan yang benar,
sokonglah saya. Akan tetapi, jika saya menyimpang kedalam kesalahan,
ingatkanlah saya.” (Hamka. 2015: 36)
Contoh lain yaitu ketika perang Uhud. Dimana kaum muslimin
berbincang-bincang “apakah musuh akan ditunggu dari kota (bertahan) atau akan
dihadapi keluar kota?”. Suara terbanyak ketika itu yaitu hendaklah ditempur
keluar kota. Padahal Nabi sendiri masuk golongan suara yang menunggu dan
bertahan di dalam kota. Beliyau tunduk kepada suara terbanyak. Lalu
diletakkannya pakaian peperangannya, baju besinya, perisainya dan disandang
pedangnya. Tetapi setelah kata keputusan demikian, masih di dengar bisik-bisik
sesudah bermusyawarah, di kalangan sahabat-sahabatnya sendiri, “barangkali
memang lebih baik kita menungggu musuh dalam kota saja. fikiran Nabi tadi yang
benar.”
Setelah sampai berita itu kepada beliyau, Rasullallah murka. Lalau
beliyau berkata “Pantang bagi seorang Nabi membuka kembali pakaian peperangan
yang telah dilekatkan kebadannya, sebelum jelas mana yang menang di antara dia
dengan musuhnya. Inilah rahasia tawakkal sesudah mendapat kepastian tadi.
Kebetulan Perang Uhud adalah perang yang membawa kekalahan. Di sana
Hamzah syahid. Penjaga ash-Shada melupakan disiplin sehingga Nabi pun hampir
meninggal. Setelah pulang dari peperangan itu, tidak ada sedikit juga keluar
dari mulut Nabi Muhammad penyesalan bahwa kalau sekiranya pikirannya yang
dahulu di ikuti, tentu tidak akan kalah.
Dalam praktik yang berlalu di zaman Nabi atau zaman
khalifah-khalifah sesudahnya, ternyata syura benar-benar pertukaran pikiran.
Jelas bahwa pikiran senantiasa tidak sama. Namun, konsep syuro inilah yang
digunakan di dalam Islam apabila mengambil suatu keputusan.
Dengan adanya konsep syuro ternyata Barat menyontek dengan
menggunakan sistem ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Sistem syuro dan nilai-nilai
di dalam syuro dicontoh oleh barat dan menggantinya dengan nama “Demokrasi”.
Mereka mengemas demokrasi dengan kemasan yang lebih baru dan modern sehingga
terdengar menarik, akhirnya sistem tersebut dipakai di banyak negara pada saat
ini.
Di dalam demokrasi bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik di jalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. (Budiardjo. 2008; 109).
Prinsip demokrasi adalah “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” di
dalamnya terdapat pemilihan umum yang bebas, dan kebebasan menyampaikan
pendapat. Dan semua itu sebenarnya adalah korespondensi dengan sistem syuro
yang diterapkan di dalam Islam.
Jadi, sistem Syuro di dalam Islam adalah sebuah mekanisme yang
sangat baik dalam memutuskan suatu perkara. Karena sistem tersebut sangat baik,
akhirnya di plagiat oleh Barat dan langsung menyebarkannya ke seluruh pelosok
negeri dengan nama Demokrasi. Padahal demokrasi sendiri terinspirasi dari
sistem Islam yang terorganisir, bebas, merakyat dan adil.
3.
Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial merupakan penjelasan mengenai terbentuknya
suatu negara karena anggota masyarakat membuat sebuah kontrak sosial untuk
membentuk negara tersebut. Dalam teori ini, sumber kewenangan dari negara
tersebut adalah masyarakat atau rakyat itu sendiri. Teori ini menyatakan bahwa
rakyat tidak lain adalah sekumpulan individu-individu yang sepakat atas
kontraktual, dan tidak diartikan sebagai ketersediaan untuk berpasrah diri
serta melepaskan kebebasan individu kepada sang penguasa yang dalam hal ini
adalah pemimpin negara. Jadi, sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu
sendiri. Sedangkan penguasa sendiri merupakan seorang pejabat yang bertugas
sebagai pelayan masyarakat dan mengemban mandat rakyat untuk menjaga dan
menjamin hak-hak rakyat. Hal ini akan diambil alih oleh rakyat ketika hak
tersebut malah disalahartikan baik itu secara baik-baik maupun secara paksa.
Hal inilah yang dinamakan sebagai revolusi
Semua civitas akademika mengakui bahwa teori kontrak sosial
ini berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran para filsof abad pencerahan (enlightenment),
diantaranya Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau. Tiga tokoh inilah yang
diakui sebagai penggagas dari teori kontrak sosial. Mereka menyatakan:
·
Thomas
Hobbes, “manusia dapat mendapatkan
kebebasan tanpa batas dalam keadaan alami sebelum terjadinya atau terbentuknya
masyarakat negara atau yang sering disebut dengan rakyat. Dalam keadaan alamiah
tersebut, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan apa pun atau
menjadikan setiap objek menjadi haknya sendiri.”
·
John
Locke, “menyatakan bahwa takdir manusia
adalah sama satu dengan yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia
memiliki hak yang sama. Negara dibangun oleh kontrak sosial terbatas, artinya
adalah bahwa pembatasan kekuasaan negara ada ditangan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh bersifat absolut dan
sewenang-wenang kepada masyarakat.”
·
Rousseau, memulai analisisnya dengan kodrat manusia. “Pada dasarnya
manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia
saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia
yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan
berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong,
maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi
alam.”
Dengan memerhatikan gagasan Rousseau mengenai negara yang dibangun
melalui kontrak sosial atas dasar kehendak rakyat, dinamika terbentuknya negara
mengalami tahapan-tahapan teoritis. Hobbes mempertegas bahwa terbentuknya
negara berasal dari kekuatan yang luar biasa dari manusia, yang akan dinobatkan
sebagai raja dengan kekuasaan absolut, sedangkan Locke dengan teori kontrak
sosialnya membangun pandangan bahwa negara diikat oleh perjanjian yang kuat
dengan masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahan secara konstitusional dan
mengormati serta menjaga hak-hak mendasar dari seluruh hak alamiah manusia yang
paling fundamental, yaitu HAM (Hak Asasi Manusia). (Susilo, 1988)
Namun, jauh
sebelum tiga filosof abad pencerahan tersebut menyatakan pendapat mereka, Islam
telah melakukan kontrak sosial terlebih dahulu. Tepatnya setelah pembacaan
Baiat Aqabah I (terjadi 1 tahun 3 bulan sebelum Hijrah yang dihadiri oleh 12
laki-laki dari penduduk madinah), dan Baiat II (terjadi satu tahun
berikutnya, yaitu pada musim haji yang dihadiri oleh 73 laki-laki dan 2 wanita).
Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid,
memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang
masyarakat ideal, saling membantu dalam peperangan dan perdamaian dalam melawan
musuh negara yang berdiri satu, serta untuk taat dalam kebaikan membela
kebenaran. (Rais. 2001. 6-7)
Selain melakukan
baiat, di dalam Islam terdapat kontrak tertulis antara kaum muslimin dengan
bangsa Yahudi, yaitu “Piagam Madinah”. Piagam tersebut berisikan kesepakatan
antara kaum muslimin dengan bangsa Yahudi yang di prakarsai oleh Rasullallah.
Seluruh bangsa Yahudi akan dijaga semua hak-hak nya dan apabila ada kaum
muslimin yang mengganggu hak-hak kaum Yahudi maka akan diberi sanksi. Terdapat
berbagai pasal dalam Piagam Madinah, pasal-pasal tersebut secara tertulis
menjadi kontrak sosial berdirinya negara Islam yang menaungi hak-hak
non-muslim.
Bedanya, kontrak sosial yang dibicarakan Roussou, Jhon Lock, Thomas
Hobbes dan sejenisnya hanyalah semata-mata ilusi dan imajinasi, sementara
kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam berlangsung dua kali secara
realistis di Aqabah dan Piagam Madinah. Di atas kontrak sosial itulah negara
islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis, merupakan suatu fakta yang
diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu keinginan-keinginan manusiawi yang
merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan
risalah yang mulia.
Para ulama Islam
memformulasikan beberapa kesepakan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia yang
bebas, dan dilaksanakan dengan interaksi antarmanusia. dalam beberapa kasus
tertentu dan menggunakan kesepakatan yang telah disetujui dalam bentuk
transkasi atau kontrak. Mereka juga telah merumuskan sebuah sistem yang teratur
dan pasti berdiri atas sekumpulan kontrak tersebut. Itulah bagian yang memiliki
persentasi terbesar dalam hukum islam, yang disebut al-mu’amalaat sebagai
lawan dari bagian yang disebut al-‘ibaadaat. Di antara bagian mu’malat
tadi adalah transaksi penjualan (al-bay’u) yang dapat dianggap sebagai
contoh natural dalam kehidupan sehari-hari dan kontrak-kontrak perdamaian,
perseroan, penyewaan, hibah, dan seterusnya. Dari bentuk-bentuk muamalat ini
yang menggabungkan semua bentuk interaksi seperti yang telah disebutkan diatas
adalah Kontrak Keimamahan.
Prosedur yang
menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at dikiaskan dari
format awal percontohan mua’malaat al-bay’u (jual-beli). Karena itu Ibnu
Kholdun menyatakan, “Dahulu, kalau mereka membai’at seorang amir dan
mengadakan perjanjian dengannya, mereka berjabatan tangan satu sama lain
sebagai penekanan akan absahnya kontrak itu. Sehingga terlihat mirip dengan
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pembelu dan penjual. Karena itu, prosedur
ini disebut bai’at dari asal kata baa’a (menjual).” (Rais. 168)
Ketika sebuah kontrak terlaksana dengan ijab (penyerahan)
dan qabul (penerimaan), sesungguhnya hal yang paling utama kita bahas
adalah siapakah yang berhak menjadi penyerah (mujib) pada kontrak
keimamahan? Atau dengan ungkapan lain, siapakah yang menciptakan kemashlahatan
utama dari adanya kontrak? Pada hakikatnya para ulama menjelaskan bahwa kontrak
keimamahan atau katakanlah pihak pertama transaksi itu adalah umat (orang-orang
muslim).
Menurut Al-Ghozali (Iqbal dan Nasution. 2013; 29), manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Di sinilah
perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut
Al-Ghozali, pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis
duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan pandangan di atas, Al-Ghozali berpendapat bahwa kewajiban
pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan
pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama. (syar’i).
Referensi:
·
Budiardjo.
Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ikrar Mandiriabadi. Jakarta.
·
Hamka.
(2015) Keadilan Sosial dalam Islam. Gema Insani. Depok
·
Ibrahim.
A Qasim dan Saleh. Muhammad. (2014). Buku Pintar Sejarah Islam. Jejak
Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hinggga Masa Kini. Zaman. Jakarta.
·
Iqbal.
Muhammad dan Nasution. Amin Husein. (2013). Pemikiran Politik Islam. Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta.
·
Roy.
S.L (1991). Diplomasi. Rajawali Press. Jakarta
·
Rais.
M Dhiauddin. (2001). Teori Politik Islam. Gema Insani. Jakarta.
·
Susilo,
I. Basis. (1988). Teori Kontrak Sosial dari Hobbes, Locke, dan Rosseau dalam
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. Vol. II. No. 3. Surabaya: FISIP
Unair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar