Minggu, 13 Maret 2016

SEJARAH PERADABAN POLITIK ISLAM


DIPLOMASI ATAU KEBIJAKAN LUAR NEGERI, KONSEP SYURO DAN KONTRAK SOSIAL


1.      Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri
Kata “diplomasi” diyakini berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat” Menurut Nicholson, “Pada masa Kekaisaran Romawi semua paspor yang melewati jalan milik negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, dilipat dan dijahir jadi satu dalam cara yang khas. Surat jalan logam ini disebut “diplomas”. Selanjutnya kata ini berkembang mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing di luar bangsa Romawi. Karena perjanjian-perjanjian ini semakin bertumpuk, arsip kekaisaran menjadibeban dengan dokumen-dokumen kecil yang tak terhitung jumlahnya yang dilipat dan diberikan dalam cara khusus. Oleh karena itu dirasa perlu untuk mempekerjakan seseorang yang terlatih untuk mengindeks, menguraikan dan memeliharanya. Isi surat resmi negara yang dikumpulkan disimpan di arsip yang berhubungan dengan hubungan internasional, dikenal pada Zaman Pertengahan sebagai diplomaticus atau diplomatique. Siapa pun yang berhubungan dengan surat-surat tersebut dikatakan sebagai milik res diplomtaque atau bisnis diplomatic. (Roy. 1991: 1)
Dari peristiwa diatas lama kelamaan kata “diplomasi” menjadi dihubungkan dengan manjemen hubungan internasional, dan siapapun yang ikut mengaturnya dianggap sebagai diplomat. Menurut The Oxford English Dictionary (Roy. 1991: 2) memberi konotasi sebagai berikut: “Manajemen hubungan internasional melalui negosiasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil; bisnis atau seni para diplomat”. Menurut The Chamber’s Twentieth Century dictionary, diplomasi adalah “the art of negotiation, especially of treaties between states; political skill.”
Pada hakikatnya, sebelum statemen diplomasi itu muncul dan di jadikan istilah oleh orang-orang barat dalam kebijakan luar negeri negaranya. Islam telah memakai sistem tersebut sejak abad ke-7 Masehi. Prinsip politik luar negeri Islam adalah mendakwah dan menyebar luaskan ajaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Seperti yang telah difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur’an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan” (QS Saba’ [34]: 28)
Inilah prinsip kebijakan luar negeri yang dipakai oleh Rasullallah adalah untuk mengemban risalah dakwah dan menyebar luaskan Islam ke seluruh pelosok negeri. Metode yang digunakan dalam menyebar luaskan Islam adalah dengan berjihad menggirimkan surat-surat diplomasi agar penguasa dan raja-raja kafir memeluk agama Islam. Korespondensi tersebut ditujukan kepada Heraclius (Kaisar Romawi), Raja Negus (Penguasa Ethiopia), dan Khusrau (Penguasa Persia). Surat-surat tersebut adalah diplomasi sekaligus kebijakan luar negeri yang diajarkan dan dipakai oleh Rasullallah dalam menyebar luaskan ajaran agama Islam.
            Risalah dakwah bukan hanya ditujukan ketiga raja-raja besar penguasa jazirah Arab ketika itu saja, melainkan Rasul juga mengirim surat ke Kisra, Muqauqis, Harits Al-Ghassani (Raja Hira), Harits Al-Himyari (Raja Yaman), dan kepada Najasi, dan penguasa Abesinia (Ethiopia). Adapun surat untuk Heraclius dibawa oleh “Dihyah bin Khalifah al-Kalbi”, Kepada Kisra dibawa oleh “Salim bin Amr”, dan surat kepad Najasyi dibawa oleh “Amr bin Umayyah” serta surat kepada Muqauqis oleh “Hatib bin Abi Balta’ah”. Sementara itu, surat kepada penguasa Oman dibawa oleh Amr bin Ash, surat kepada penguasa Yaman oleh Salit bin Amr, dan surat kepada Raja bahrain oleh al-‘Ala bin Al-Hadzrami, sedangkan Harits al-Ghassani, Raja Syam, dibawa oleh Syuja’ bin Wahab, dan surat kepada Harits Al-Himyari, Raja Yaman dibawa oleh Muhajir bin Umayyah.
            Surat-surat dan mendatangkan utusan kepada kerajaan-kerajaan dan penguasa-penguasa pada saat itu, adalah sebuah diplomasi serta kebijakan luar negeri Islam yang diterapkan oleh Rasullallah. Jadi Islam telah mengetahui sekaligus melakukan diplomasi kepada negara-negara non-muslim dan mengajak mereka agar memeluk Islam. Dan semua diplomasi tersebut ada yang diterima dan ada yang ditolak dengan baik maupun secara kasar.
2.      Konsep Syuro
Bermusyawarah, bermufakat, dan berbincang bersama-sama memilih mana yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat, itulah pokok sejati ketika mendirikan pemerintahan Islam. tentang bagaimana susunan teknik musyawarah, tidaklah lagi dimasukkan oleh yang mendirikan syari’at, yaitu Nabi Muhammad saw. Tekniknya terserah kepada kebijaksanaan mereka sendiri. Di sinilah terpasangnya hadits, “Antum a’lam bi umuri dunyakum”, kamu lebih tahu akan urusan duniamu.
Daulat yang sejati ada di tangan Allah dan diserahkan daulat itu kepada mereka yang berhak memilih bentuk pemerintahan menurut keputusan bermusyawarah. Suara yang terbanyak di dalam suatu permusyawarahan itulah yang terbaik dan harus di jalankan. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an:
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar. tentulah mereka menjauh diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal,” (Al-Imran: 159)
Dalam musyawarah, yang terkecil jumlah suaranya haruslah tunduk kepada suara yang terbanyak. Sebab hukum duniawi atau hukum politik tidaklah hitungan dua atau ditambah dua sama dengan empat. Segala perkara akan dilihat oleh manusia dari seginya masing-masing. yang semata-mata bik, dengan hitungan mutlak (Absolut) tidaklah akan bertemu. Yang akan bertemu hanyalah menghitung mafsadah dan maslahah. Mana yang banyak maslahatnya dan sedikit mafsadatnya, menurut hukum suara terbanyak, itulah yang dijalankan setelah putus dan mendapat kepastian serta hendaklah menjalankan dan bertawakkal kepada Allah.
Jika muncul suatu persoalan, para sahabat melihat bagaimana cara Nabi memutuskan. Jika diperoleh, lalu bermusyawarah. Setelah Abu Bakar Meninggal, Umar pun berbuat hal yang sama. Dilihatnya terlebih dahulu cara Nabi menghukumkan dan kalau tidak ada, dilihat bagaimana cara Abu Bakar memutuskan.
Di zaman Abu Bakar terkumpulah kita Suci Al-Qur’an yang dahulu belum pernah dikumpulkan menjadi satu. Ketika musyawarah, ada di kalangan sahabat yang berpendapat bahwa mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab (mushaf) adalah bid’ah. Bahkan Umar mulanya berpendapat begitu. Namun setelah bermusyawarah bersama akhirnya umat Islam memutuskan bersama-sama untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Jiwa pemerintahan Islam jelas dan nyata dalam pidato Abu Bakar ketika diangkat menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad saw wafat.
“Kalian mengangkat saya menjadi kepala pemerintahan. Tetapi tidaklah saya lebih baik dari pada kalian. Jika saya menjalankan yang benar, sokonglah saya. Akan tetapi, jika saya menyimpang kedalam kesalahan, ingatkanlah saya.” (Hamka. 2015: 36)
Contoh lain yaitu ketika perang Uhud. Dimana kaum muslimin berbincang-bincang “apakah musuh akan ditunggu dari kota (bertahan) atau akan dihadapi keluar kota?”. Suara terbanyak ketika itu yaitu hendaklah ditempur keluar kota. Padahal Nabi sendiri masuk golongan suara yang menunggu dan bertahan di dalam kota. Beliyau tunduk kepada suara terbanyak. Lalu diletakkannya pakaian peperangannya, baju besinya, perisainya dan disandang pedangnya. Tetapi setelah kata keputusan demikian, masih di dengar bisik-bisik sesudah bermusyawarah, di kalangan sahabat-sahabatnya sendiri, “barangkali memang lebih baik kita menungggu musuh dalam kota saja. fikiran Nabi tadi yang benar.”
Setelah sampai berita itu kepada beliyau, Rasullallah murka. Lalau beliyau berkata “Pantang bagi seorang Nabi membuka kembali pakaian peperangan yang telah dilekatkan kebadannya, sebelum jelas mana yang menang di antara dia dengan musuhnya. Inilah rahasia tawakkal sesudah mendapat kepastian tadi.
Kebetulan Perang Uhud adalah perang yang membawa kekalahan. Di sana Hamzah syahid. Penjaga ash-Shada melupakan disiplin sehingga Nabi pun hampir meninggal. Setelah pulang dari peperangan itu, tidak ada sedikit juga keluar dari mulut Nabi Muhammad penyesalan bahwa kalau sekiranya pikirannya yang dahulu di ikuti, tentu tidak akan kalah.
Dalam praktik yang berlalu di zaman Nabi atau zaman khalifah-khalifah sesudahnya, ternyata syura benar-benar pertukaran pikiran. Jelas bahwa pikiran senantiasa tidak sama. Namun, konsep syuro inilah yang digunakan di dalam Islam apabila mengambil suatu keputusan.
Dengan adanya konsep syuro ternyata Barat menyontek dengan menggunakan sistem ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Sistem syuro dan nilai-nilai di dalam syuro dicontoh oleh barat dan menggantinya dengan nama “Demokrasi”. Mereka mengemas demokrasi dengan kemasan yang lebih baru dan modern sehingga terdengar menarik, akhirnya sistem tersebut dipakai di banyak negara pada saat ini.
Di dalam demokrasi bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik di jalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. (Budiardjo. 2008; 109). Prinsip demokrasi adalah “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” di dalamnya terdapat pemilihan umum yang bebas, dan kebebasan menyampaikan pendapat. Dan semua itu sebenarnya adalah korespondensi dengan sistem syuro yang diterapkan di dalam Islam.
Jadi, sistem Syuro di dalam Islam adalah sebuah mekanisme yang sangat baik dalam memutuskan suatu perkara. Karena sistem tersebut sangat baik, akhirnya di plagiat oleh Barat dan langsung menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri dengan nama Demokrasi. Padahal demokrasi sendiri terinspirasi dari sistem Islam yang terorganisir, bebas, merakyat dan adil.

3.      Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial merupakan penjelasan mengenai terbentuknya suatu negara karena anggota masyarakat membuat sebuah kontrak sosial untuk membentuk negara tersebut. Dalam teori ini, sumber kewenangan dari negara tersebut adalah masyarakat atau rakyat itu sendiri. Teori ini menyatakan bahwa rakyat tidak lain adalah sekumpulan individu-individu yang sepakat atas kontraktual, dan tidak diartikan sebagai ketersediaan untuk berpasrah diri serta melepaskan kebebasan individu kepada sang penguasa yang dalam hal ini adalah pemimpin negara. Jadi, sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri. Sedangkan penguasa sendiri merupakan seorang pejabat yang bertugas sebagai pelayan masyarakat dan mengemban mandat rakyat untuk menjaga dan menjamin hak-hak rakyat. Hal ini akan diambil alih oleh rakyat ketika hak tersebut malah disalahartikan baik itu secara baik-baik maupun secara paksa. Hal inilah yang dinamakan sebagai revolusi
Semua civitas akademika mengakui bahwa teori kontrak sosial ini berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran para filsof abad pencerahan (enlightenment), diantaranya Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau. Tiga tokoh inilah yang diakui sebagai penggagas dari teori kontrak sosial. Mereka menyatakan:
·         Thomas Hobbes,manusia dapat mendapatkan kebebasan tanpa batas dalam keadaan alami sebelum terjadinya atau terbentuknya masyarakat negara atau yang sering disebut dengan rakyat. Dalam keadaan alamiah tersebut, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan apa pun atau menjadikan setiap objek menjadi haknya sendiri.”
·         John Locke, “menyatakan bahwa takdir manusia adalah sama satu dengan yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki hak yang sama. Negara dibangun oleh kontrak sosial terbatas, artinya adalah bahwa pembatasan kekuasaan negara ada ditangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh bersifat absolut dan sewenang-wenang kepada masyarakat.”
·         Rousseau, memulai analisisnya dengan kodrat manusia. “Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.”
Dengan memerhatikan gagasan Rousseau mengenai negara yang dibangun melalui kontrak sosial atas dasar kehendak rakyat, dinamika terbentuknya negara mengalami tahapan-tahapan teoritis. Hobbes mempertegas bahwa terbentuknya negara berasal dari kekuatan yang luar biasa dari manusia, yang akan dinobatkan sebagai raja dengan kekuasaan absolut, sedangkan Locke dengan teori kontrak sosialnya membangun pandangan bahwa negara diikat oleh perjanjian yang kuat dengan masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahan secara konstitusional dan mengormati serta menjaga hak-hak mendasar dari seluruh hak alamiah manusia yang paling fundamental, yaitu HAM (Hak Asasi Manusia). (Susilo, 1988)
            Namun, jauh sebelum tiga filosof abad pencerahan tersebut menyatakan pendapat mereka, Islam telah melakukan kontrak sosial terlebih dahulu. Tepatnya setelah pembacaan Baiat Aqabah I (terjadi 1 tahun 3 bulan sebelum Hijrah yang dihadiri oleh 12 laki-laki dari penduduk madinah), dan Baiat II (terjadi satu tahun berikutnya, yaitu pada musim haji yang dihadiri oleh 73 laki-laki dan 2 wanita). Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat ideal, saling membantu dalam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang berdiri satu, serta untuk taat dalam kebaikan membela kebenaran. (Rais. 2001. 6-7)
            Selain melakukan baiat, di dalam Islam terdapat kontrak tertulis antara kaum muslimin dengan bangsa Yahudi, yaitu “Piagam Madinah”. Piagam tersebut berisikan kesepakatan antara kaum muslimin dengan bangsa Yahudi yang di prakarsai oleh Rasullallah. Seluruh bangsa Yahudi akan dijaga semua hak-hak nya dan apabila ada kaum muslimin yang mengganggu hak-hak kaum Yahudi maka akan diberi sanksi. Terdapat berbagai pasal dalam Piagam Madinah, pasal-pasal tersebut secara tertulis menjadi kontrak sosial berdirinya negara Islam yang menaungi hak-hak non-muslim.
Bedanya, kontrak sosial yang dibicarakan Roussou, Jhon Lock, Thomas Hobbes dan sejenisnya hanyalah semata-mata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah dan Piagam Madinah. Di atas kontrak sosial itulah negara islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis, merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
            Para ulama Islam memformulasikan beberapa kesepakan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia yang bebas, dan dilaksanakan dengan interaksi antarmanusia. dalam beberapa kasus tertentu dan menggunakan kesepakatan yang telah disetujui dalam bentuk transkasi atau kontrak. Mereka juga telah merumuskan sebuah sistem yang teratur dan pasti berdiri atas sekumpulan kontrak tersebut. Itulah bagian yang memiliki persentasi terbesar dalam hukum islam, yang disebut al-mu’amalaat sebagai lawan dari bagian yang disebut al-‘ibaadaat. Di antara bagian mu’malat tadi adalah transaksi penjualan (al-bay’u) yang dapat dianggap sebagai contoh natural dalam kehidupan sehari-hari dan kontrak-kontrak perdamaian, perseroan, penyewaan, hibah, dan seterusnya. Dari bentuk-bentuk muamalat ini yang menggabungkan semua bentuk interaksi seperti yang telah disebutkan diatas adalah Kontrak Keimamahan.
            Prosedur yang menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at dikiaskan dari format awal percontohan mua’malaat al-bay’u (jual-beli). Karena itu Ibnu Kholdun menyatakan, “Dahulu, kalau mereka membai’at seorang amir dan mengadakan perjanjian dengannya, mereka berjabatan tangan satu sama lain sebagai penekanan akan absahnya kontrak itu. Sehingga terlihat mirip dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pembelu dan penjual. Karena itu, prosedur ini disebut bai’at dari asal kata baa’a (menjual).” (Rais. 168)
Ketika sebuah kontrak terlaksana dengan ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan), sesungguhnya hal yang paling utama kita bahas adalah siapakah yang berhak menjadi penyerah (mujib) pada kontrak keimamahan? Atau dengan ungkapan lain, siapakah yang menciptakan kemashlahatan utama dari adanya kontrak? Pada hakikatnya para ulama menjelaskan bahwa kontrak keimamahan atau katakanlah pihak pertama transaksi itu adalah umat (orang-orang muslim).
Menurut Al-Ghozali (Iqbal dan Nasution. 2013; 29), manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut Al-Ghozali, pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Berdasarkan pandangan di atas, Al-Ghozali berpendapat bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama. (syar’i).


















Referensi:

·         Budiardjo. Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ikrar Mandiriabadi. Jakarta.
·         Hamka. (2015) Keadilan Sosial dalam Islam. Gema Insani. Depok
·         Ibrahim. A Qasim dan Saleh. Muhammad. (2014). Buku Pintar Sejarah Islam. Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hinggga Masa Kini. Zaman. Jakarta.
·         Iqbal. Muhammad dan Nasution. Amin Husein. (2013). Pemikiran Politik Islam. Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
·         Roy. S.L (1991). Diplomasi. Rajawali Press. Jakarta
·         Rais. M Dhiauddin. (2001). Teori Politik Islam. Gema Insani. Jakarta.
·         Susilo, I. Basis. (1988). Teori Kontrak Sosial dari Hobbes, Locke, dan Rosseau dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. Vol. II. No. 3. Surabaya: FISIP Unair.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar